Bahan Baku

Tandan Buah Segar sedang dipindahkan ke truk setelah ditimbang
Tandan Buah Segar sedang dipindahkan ke truk setelah ditimbang (Foto: Yudi-Auriga)

Penanaman kelapa sawit di Indonesia dimulai pada tahun 1968, yang kemudian mulai menunjukkan geliatnya secara masif mulai tahun 1980. Sumber daya yang melimpah ini salah satunya dimanfaatkan menjadi bahan bakar nabati (BBN) biodiesel. Dengan adanya diversifikasi produk dari crude palm oil akan menambah nilai keekonomiannya dan bermanfaat bagi masyarakat.

 

Untuk memahami secara utuh dinamika industri biodiesel di Indonesia, perlu juga untuk melihat dinamika industri komoditas kelapa sawit, sebagai industri hulu biodiesel. Kelapa sawit telah menjadi sebuah komoditas yang terus berkembang di Indonesia mulai pada tahun 1968 dan mulai menunjukkan geliatnya secara masif sejak tahun 1980.[1] Hingga tahun 2017, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah mencapai 14.030.574 ha.[2] Setiap tahunnya, selalu ada pertambahan luasan perkebunan sawit baru skala besar maupun kecil (rakyat). Pertumbuhan luasan ini menjadikan Indonesia sebagai produsen terbesar Crude Palm Oil (CPO) di dunia. Data GAPKI tahun 2016 menunjukkan total produksi CPO Indonesia adalah 32,52 juta ton. Pada 2017 terdapat peningkatan 17,73%, sehingga total produksi CPO menjadi 38,17 juta ton, dan yang sudah diekspor mencapai 31,05 juta ton. Pada akhir 2017, Indonesia masih memiliki stok CPO sebanyak 4,02 juta ton.[3] Peningkatan juga terjadi pada tahun 2018, di mana GAPKI mencatat pada semester pertama, produksi minyak sawit Indonesia telah mencapai 22,32 juta ton, mengalami peningkatan sebesar 23% dari tahun sebelumnya pada semester yang sama.[4]

Dengan kondisi melimpahnya produksi CPO dalam negeri, Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang dilengkapi dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) telah memantapkan posisi Indonesia dalam memanfaatkan biodiesel sebagai bagian dari energi baru terbarukan. Arah kebijakan dari KEN tersebut memandatkan peningkatan bauran dari 5% (2015), 23% (2025), hingga 31% (2050) biodiesel di Indonesia. Apabila dilihat secara linear (tanpa melihat kondisi riil), peningkatan bauran yang dimandatkan dalam KEN ini akan membutuhkan lebih banyak CPO sebagai bahan baku biodiesel. Dengan kerangka pemikiran inilah industri biodiesel dan rantai pasoknya mendapatkan pertanyaan besar dari berbagai kalangan, terutama dari kelompok pemerhati lingkungan hidup. Khususnya dari sisi hulu sebagai penyedia pasokan bahan baku biodiesel, yaitu perkebunan kelapa sawit.

Kekhawatiran utamanya adalah, peningkatan persentase bauran tersebut akan berujung pada perluasan atau ekspansi wilayah perkebunan yang akan mengganggu keseimbangan ekosistem hutan. Asumsi tersebut bisa saja benar, namun perlu untuk memikirkan secara lengkap dari berbagai sisi. Artinya, dalam melihat dinamika penerapan peningkatan bauran biodiesel juga perlu melihat situasi riil dari cadangan CPO yang masih tersisa di Indonesia. Sehingga, yang harus menjadi pertanyaan utamanya adalah, apakah dengan cadangan dan kapasitas produksi CPO yang ada sekarang, diperlukan penambahan lahan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan bauran biodiesel Indonesia sesuai target yang telah ditetapkan.

Namun, sebelum jauh masuk ke dalam pembahasan mengenai rantai pasok dari industri biodiesel ini dan pengaruhnya terhadap ekosistem hutan serta pengaruhnya terhadap ekonomi makro maupun mikro, perlu kiranya untuk mengurai dan mendudukkan fakta-fakta yang ada serta mengidentifikasi alur prosesnya. Rantai pasok, atau yang dikenal dengan supply chain, adalah rangkaian proses dari awal hingga akhir (distribusi ke konsumen) atas suatu komoditas tertentu. Dalam konteks biodiesel, rantai pasok dimulai dari perkebunan kelapa sawit, sebagaimana tergambar berikut ini.

Proyeksi Harga CPO: Realitas Nilai Keekonomian Biodiesel

Biodiesel diharapkan dapat menjadi sebuah produk yang akan menggantikan posisi dari bahan bakar fosil. Sehingga dari sisi harga, biodiesel harus lebih murah atau setidaknya sama dengan bahan bakar fosil. Sedangkan harga biodiesel akan juga ditentukan oleh harga CPO yang dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti:

  1. Harga minyak nabati dunia

    Terdapat hubungan positif antara pergerakan harga CPO dan minyak nabati lain. Seperti kedelai yang merupakan kompetitor CPO sejak lama.[5]

  2. Harga minyak mentah dunia

    Terdapat nilai signifikansi yang tinggi terhadap pergerakan harga CPO dan minyak mentah dunia, di mana harga CPO per barel dalam tiga dasawarsa ini hampir selalu lebih tinggi dibandingkan dengan harga minyak mentah, fluktuasi pergerakan harganya pun selalu beriringan dengan harga minyak mentah dunia. (lihat grafik harga CPO dan minyak mentah).

  3. Kurs mata uang

    Penelitian di hubungan yang signifikan juga ditunjukan oleh perubahan kurs mata uang dalam negeri dengan CPO. Sebagai komoditas unggulan, kenaikan tingkat harga CPO, baik secara langsung maupun melalui sektor moneter secara nyata terbukti dapat menyebabkan apresiasi nilai tukar riil. Kemudian, hasil simulasi model menunjukkan bahwa semakin tinggi pertumbuhan harga CPO dunia semakin tinggi pula inflasi dan semakin besar apresiasi nilai tukar riil.[6]

Gambar Perbandingan Harga CPO dan Minyak Mentah dalam USD/barrel
Gambar Perbandingan Harga CPO dan Minyak Mentah (USD/barrel)

Fluktuasi harga minyak mentah dan CPO cukup dinamis, bila dilihat dari awal tahun 1980, harga minyak mentah dan harga CPO menunjukkan selisih sekitar US$24 per barel. Berdasarkan grafik di atas, pada dua puluh tahun pertama, yaitu pada tahun 1980 hingga awal tahun 2000, harga CPO selalu lebih tinggi ketimbang harga minyak mentah. Harga minyak mentah dan CPO pertama kali bersinggungan pada tahun 2004, saat itu harga keduanya berkisar pada US$55 per barel. Barulah pada tahun 2004 harga minyak mentah berhasil melampaui harga CPO pada kisaran US$61 per barel, walaupun terjadi pada rentang waktu yang tidak terlalu lama. Secara umum, grafik fluktuasi bergerak berirama, yaitu ketika harga minyak mentah turun, harga CPO pun juga ikut anjlok, begitupun sebaliknya. Namun secara umum, kesenjangan antara harga minyak mentah dengan CPO terus terjadi. Persinggungan ataupun lonjakan harga minyak dengan CPO relatif terjadi pada jangka waktu yang pendek, lalu harga minyak kembali turun di bawah CPO.

Secara sederhana, bila nilai regresi tersebut ditarik secara linear maka kemungkinan harga minyak mentah akan melampaui CPO terjadi pada seratus periode tahun kedepan atau ketika harga kedua komoditas tersebut berada pada nilai yang sangat tinggi nantinya. Masih panjang perjalanan untuk mendapatkan harga minyak mentah menjadi lebih tinggi dari pada CPO. Sedangkan, untuk dapat bersaing dengan produk bahan bakar fosil, maka harga CPO harus menjadi lebih rendah atau minimal sama dengan bahan bakar fosil.

Pada tahun 2014, terjadi penurunan harga minyak sawit (CPO) kelapa sawit secara drastis yang dipicu oleh jatuhnya harga minyak dunia di pasar internasional. Harga minyak sawit mencapai titik terendahnya pada pertengahan tahun 2015 yang mencapai US$530/ton. Situasi ini secara langsung menyebabkan jatuhnya harga tandan buah segar (TBS) sawit di pasaran yang membawa kerugian yang sangat besar bagi para petani termasuk petani sawit swadaya.

Sebagai langkah respons, pemerintah mencanangkan program biodiesel B20 yang ditujukan untuk menciptakan permintaan buatan/artificial demand terhadap produk sawit sehingga harga sawit di pasar domestik akan naik. Selain itu, pemerintah juga memberikan insentif bagi pengusahaan sektor kelapa sawit lewat dana sawit yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS). Kehadiran program biodiesel ini terbukti berhasil menaikkan harga CPO dan TBS di pasaran yang secara langsung berdampak positif untuk penguatan ekonomi rakyat terutama petani sawit swadaya, seperti yang ada pada grafik di bawah. Data dari Kementerian ESDM menyatakan bahwa implementasi program B20 dapat meningkatkan pendapatan petani sebanyak 24% di tahun 2017.[7] Namun pernyataan ini masih dipertanyakan oleh Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), karena dianggap bahwa implikasi terhadap petani kelapa sawit masih belum terasa langsung. Artinya, harga jual TBS dari petani tidak mengalami perubahan yang signifikan dengan atau tanpa program B20.[8]

Grafik Tren Harga CPO Januari 2013 - Maret 2018
Grafik Tren Harga CPO Januari 2013 - Maret 2018[9]

Pada skala makro produksi biodiesel memberikan dampak ekonomi yang sangat positif untuk kesehatan neraca keuangan negara. Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution menyatakan bahwa penghematan devisa yang berasal dari pelaksanaan program B20 dapat mencapai USD 5.5 miliar atau setara IDR 79,2 triliun dalam setahun.[10] Nilai tersebut berasal dari nilai penghematan impor BBM yang diperoleh apabila Indonesia telah menggunakan B20 secara penuh pada penyaluran bahan bakar diesel PSO dan Non-PSO.

Melihat pendekatan yang digunakan pemerintah, maka industri biodiesel Indonesia berdiri pada sebuah fondasi yang sebenarnya tidak terlalu kuat. Nilai keekonomiannya ditopang oleh insentif ekonomi yang diarahkan untuk menciptakan sebuah artificial demand. Harga biodiesel belum bisa bersaing dengan minyak mentah, sehingga selisih harganya masih tetap harus ditutupi. Pemberian insentif ekonomi ini pada dasarnya sangat wajar dalam konteks pengenalan teknologi/inovasi baru seperti biodiesel. Namun perhitungan nilai keekonomiannya juga harus jelas diperhitungkan sejak awal. Apabila hanya terus menggantungkan pada model skema insentif ekonomi seperti sekarang, maka keekonomian dari biodiesel bisa dikatakan sebatas "tambal sulam". Terlebih lagi, penghitungan nilai ekonomi dari biodiesel belum melihat kondisi yang terjadi pada sisi hulu biodiesel (perkebunan kelapa sawit) yang juga penting untuk menjadi perhatian.

Tantangan pertama berangkat dari ketersediaan lahan di Indonesia yang terbatas dan kebutuhan akan CPO yang terus meningkat. Sedangkan pada sisi lain, kondisi perkebunan kelapa sawit yang saat ini sudah beroperasi akan terus memproduksi TBS dan akan menambah cadangan CPO Indonesia. Hal ini memerlukan pasar yang jelas sehingga putaran ekonomi dari industri kelapa sawit juga dapat terus berputar. Dengan melihat kepada proyeksi kebutuhan CPO Indonesia sesuai dengan mandatori biodiesel di tahun 2025 mencapai 10,58 juta ton, atau setara dengan seperempat produksi CPO Indonesia saat ini. Diperlukan peningkatan produktivitas 1,6 ton/ha di tahun 2025 (dari produksi saat ini yang rata-rata 2,8 ton/ha) untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Apabila itu tidak terpenuhi, maka pilihan terakhirnya adalah pembangunan perkebunan kelapa sawit Indonesia akan terus meluas dan melebihi daya dukung dan daya tampung lingkungan. Akan terjadi sebuah ketidakseimbangan dalam pola pembangunan, dan akhirnya biodiesel menjadi tidak rasional untuk dilakukan.

Catatan kaki:

1. Joko Supriyono, "Sejarah Kelapa Sawit Indonesia" [diakses 13 Juli 2018]. (kembali)
Joko Supriyono, "Sejarah Kelapa Sawit Indonesia" [diakses 13 Juli 2018].
2. Direktorat Jederal Perkebunan, Statistik Perkebunan Indonesia 2016-2018: Kelapa Sawit, Jakarta: Kementrian Pertanian, 2017, h. 3. (kembali)
Direktorat Jederal Perkebunan, Statistik Perkebunan Indonesia 2016-2018: Kelapa Sawit, Jakarta: Kementrian Pertanian, 2017, h. 3.
3. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), "Refleksi Industri Kelapa Sawit 2017 dan Prospek 2018" [diakses 20 Juni 2018]. (kembali)
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), "Refleksi Industri Kelapa Sawit 2017 dan Prospek 2018" [diakses 20 Juni 2018].
4. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), "Oversupply Sawit RI: Happy Problems" [diakses 20 Juni 2018]. (kembali)
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), "Oversupply Sawit RI: Happy Problems" [diakses 20 Juni 2018].
5. Fatimah Mohamed Arshad dan Amna Awad Abdel Hameed, "Crude Oil, Palm Oil Stock and Prices: How They Link", Review of Economics & Finance, 2012. (kembali)
Fatimah Mohamed Arshad dan Amna Awad Abdel Hameed, "Crude Oil, Palm Oil Stock and Prices: How They Link", Review of Economics & Finance, 2012.
6. Hilda Aprina, "Analisis Pengaruh Harga Crude Palm Oil (CPO) Dunia Terhadap Nilai Tukar Riil Rupiah", Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, volume 16(4), 2014, h. 315-338. (kembali)
Hilda Aprina, "Analisis Pengaruh Harga Crude Palm Oil (CPO) Dunia Terhadap Nilai Tukar Riil Rupiah", Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, volume 16(4), 2014, h. 315-338.
7. Angga Bratadharma, "Bergotong Royong Lewat B20" [diakses 16 Desember 2019]. (kembali)
Angga Bratadharma, "Bergotong Royong Lewat B20" [diakses 16 Desember 2019].
8. Pemaparan SPKS pada Seminar "Menuju Industri Biodiesel yang Berkelanjutan", Jakarta 29 Agustus 2018. (kembali)
Pemaparan SPKS pada Seminar "Menuju Industri Biodiesel yang Berkelanjutan", Jakarta 29 Agustus 2018.
9. BPDP-KS (2018) Pembayaran Dana Insentif Biodiesel. Dipresentasikan di Kantor BPDP-KS, Jakarta, 30 April 2018. (kembali)
BPDP-KS (2018) Pembayaran Dana Insentif Biodiesel. Dipresentasikan di Kantor BPDP-KS, Jakarta, 30 April 2018.
10. Rizky Alika, "Penerapan Biodiesel B20 Dapat Hemat Devisa Rp 79,2 Triliun Setahun" [diakses 27 Agustus 2018]. (kembali)