Kebijakan dan Peraturan

Gambar Kerangka kebijakan biodiesel (Ilustrasi: Auriga Nusantara)
Gambar Kerangka Kebijakan Biodiesel (Ilustrasi: Traction Energy Asia)

Peran pemerintah dalam industri biodiesel salah satunya sebagai pembuat kebijakan. Tidak hanya Kementrian ESDM saja yang membuat kebijakan terkait biodiesel, beberapa lembaga lain ikut terlibat dalam membuat kebijakan, baik dari hulu hingga hilir industri biodiesel di Indonesia.

 
No. Tanggal Ditetapkan Regulasi Singkatan Deskripsi
1 10 Agustus 2007 Undang Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi UU 30/2007 Merupakan acuan dari terbentuknya Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Kebijakan Energi Nasional (KEN) serta Dewan Energi Nasional (DEN). Didalam UU 30/2007 disebutkan energi terbarukan adalah energi yang berasal dari sumber energi yang berkelanjutan seperti panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut.
2 7 Mei 2008 Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2008 tentang Pembentukan Dewan Energi Nasional Dan Tata Cara Penyaringan Calon Anggota Dewan Energi Nasional Perpres 26/2008 Dewan Energi Nasional (DEN) adalah suatu lembaga bersifat nasional, mandiri, dan tetap, yang bertanggung jawab atas kebijakan energi nasional.
3 17 Oktober 2014 Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional PP 79/2014 Kebijakan Energi Nasional (KEN) adalah kebijakan pengelolaan energi yang berdasarkan prinsip berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan guna terciptanya kemandirian dan ketahanan energi nasional.
4 2 Maret 2017 Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional Perpres 22/2017 Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) adalah kebijakan Pemerintah Pusat mengenai rencana pengelolaan energi tingkat nasional yang merupakan penjabaran dan rencana pelaksanaan Kebijakan Energi Nasional yang bersifat lintas sektor untuk mencapai sasaran Kebijakan Energi Nasional.
5 25 Januari 2006 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan Dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain Inpres 1/2006 Dalam proses penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) perlu adanya koordinasi dari setiap kementrian. Koordinasi antar 13 kementrian hingga pemerintah daerah diatur dalam Inpres 1/2006. Diharapkan setiap kementrian mampu menggerakan semua elemen yang berada dibawahnya dalam melaksanakan percepatan penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain
6 26 September 2008 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain Permen ESDM 32/2008 Pemerintah mendorong pentahapan penggunaan biodiesel sebagai bahan bakar lain untuk mencapai ketahan energi nasional. Bahan bakar nabati (BBN) sebagai bahan bakar lain yang dimaksud dalam Permen ESDM 32/2008 terdiri dari biodiesel (B100), bioentanol(E100), dan minyak nabati murni (O100). Ditargetkan pada tahun 2025 adalah 20% untuk B100, 15% untuk E100, dan 10% untuk O100 dari total energi yang dibutuhkan.
7 28 Agustus 2013 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain Permen ESDM 25/2013 Revisi pertama dari Permen ESDM 32/2008. Pada Permen ESDM 25/2013 telah diatur penjaminan standar dan mutu BBN yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Target kewajiban minimal pemanfaatan biodiesel (B100) sebagai campuran BBM terjadi peningkatan pada revisi permen ini. Dari yang sebelumnya ditargetkan 20% pada tahun 2025, kini ditargetkan menjadi 25% di tahun 2025.
8 3 Juli 2014 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 20 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain Permen ESDM 20/2014 Revisi kedua dari Permen ESDM 32/2008. Hal yang direvisi adalah peningkatan target kewajiban minimal pemanfaatan biodiesel (B100) sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM). Dari Permen ESDM 25/2013 sebelumnya ditargetkan 25% pada tahun 2025, kini ditargetkan menjadi 30% di tahun 2025.
9 18 Maret 2015 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 12 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain Permen ESDM 12/2015 Revisi ketiga dari Permen ESDM 32/2008 dan belum ada revisi hingga saat ini. Hal yang direvisi adalah peningkatan target kewajiban minimal pemanfaatan biodiesel (B100) sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM). Dari Permen ESDM 32/2008 sebelumnya ditargetkan 20% pada tahun 2025, kini ditargetkan menjadi 30% di tahun 2025. Namun jika dilihat dari Permen ESDM 20/2014 tidak terjadi perubahan target di tahun 2025.
10 16 November 2005 Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2005 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu Perpres 71/2005 Peraturan ini belum membahas tentang energi terbarukan, khususnya bahan bakar nabati (BBN). Bahan bakar minyak (BBM) tertentu yang dimaksud adalah bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari minyak bumi. Namun Perpres ini tidak dapat diabaikan karena merupakan acuan dari Prepres 45/2009 tentang penyediaan dan pendistribusian jenis BBM tertentu.
11 23 Oktober 2009 Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2005 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu Perpres 45/2009 Revisi pertama Perpres 71/2005, terjadi perubahan definisi BBM tertentu dalam Perpres 45/2009. Bahan bakar minyak (BBM) tertentu adalah bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari minyak bumi dan/atau bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari minyak bumi yang telah dicampurkan dengan BBN sebagai bahan bakar lain.
12 31 Desember 2014 Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Perpres 191/2014 Mencabut Perpres 71/2005, sehingga Perpres 191/2014 adalah yang menjadi acuan untuk penyediaan, dan harga jual eceran BBM. Pengaturan penyediaan dan pendistribusian Jenis BBM Tertentu dalam Perpres 191/2014 meliputi perencanaan volume kebutuhan, perencanaan volume penjualan dari Badan Usaha, penyediaan dan pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel), ketentuan impor dan sistem pendistribusian secara tertutup Jenis BBM Tertentu. Lampiran menyajikan target konsumen pada setiap bahan bakar minyak yang diproduksi.
13 20 September 2011 Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Perpres 61/2011 Rencana Aksi Nasional - Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) adalah dokumen rencana kerja untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai dengan target pembangunan nasional.

Latar Biodiesel Indonesia

Kebijakan pemanfaatan biodiesel sebagai bahan bakar di Indonesia secara formal dimulai pada tahun 2006, ditandai dengan penerbitan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 (Perpres 5/2006) tentang Kebijakan Energi Nasional. Pada peraturan inilah bahan bakar nabati mendapatkan ruang dalam konteks energi nasional. Latar utama pemberlakuan kebijakan ini terkait ketahanan dan kemandirian energi Nasional.[1] Ketahanan energi diartikan sebagai ketersediaan akses masyarakat terhadap sumber energi yang murah, sedangkan kemandirian energi diartikan sebagai pemanfaatan sumber daya energi domestik.[2] Sehingga pemberlakuan kebijakan bauran energi (energy mix) dapat menjawab arah kebijakan energi nasional tersebut. Terlebih lagi mengingat pada rentang 2004-2006, harga minyak mentah sedang melonjak naik. Sehingga kebijakan ini dapat mengurangi beban impor BBM, yang juga sejalan dengan arah kebijakan energi nasional dalam menjaga akses terhadap sumber energi yang murah.

Faktor ini memberikan warna yang cukup dominan dalam dinamika penerapan kebijakan biodiesel di Indonesia. Naik turunnya harga minyak dan harga komoditas bahan baku biodiesel mempengaruhi kecepatan penerapan kebijakan ini. Hal ini pada dasarnya tidak sepenuhnya sepadan dengan semangat yang umumnya dimiliki dalam melihat biodiesel sebagai bentuk dari energi baru (alternatif) terbarukan. Karena pada umumnya, pemanfaatan biodiesel dilihat juga dari kacamata penurunan emisi dan perlunya untuk lepas dari sumber energi fosil yang terbatas (bukan semata soal ekonomi). Sedangkan kebijakan bauran energi di Indonesia berlatar dominan untuk menjaga stabilitas harga. Harga bahan bakar minyak (BBM) memiliki implikasi politis yang sangat besar, sehingga perhatian pemerintah dalam melakukan penerapan kebijakan lebih diarahkan untuk hal tersebut. Kentalnya nuansa ekonomi (termasuk kesejahteraan masyarakat) dalam penerapan kebijakan bauran energi juga terlihat pada Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 (Kepres 10/2006) tentang Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati untuk Percepatan Pengurangan Kemiskinan dan Pengangguran.

Dalam blueprint bahan bakar nabati (BBN) yang didesain oleh Tim Nasional tersebut, dinyatakan bahwa tujuan program pengembangan BBN adalah[3]:

  • mengurangi tingkat kemiskinan dan pengangguran,
  • mendorong peningkatan ekonomi berkelanjutan melalui penyediaan bahan bakar nabati,
  • mengurangi konsumsi BBM dalam negeri.

Dari tiga tujuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa latar utama pemberlakuan kebijakan BBN lebih mengarah kepada mengoptimalkan sumberdaya domestik (yaitu komoditas perkebunan) untuk menjadi bagian dari skenario ketahanan energi nasional. Sekaligus menghemat pengeluaran negara untuk impor minyak mentah. Data Badan Pusat Statistik Nasional menunjukan bahwa pada tahun 2006-2008 terdapat kenaikan harga minyak mentah yang sangat signifikan dan mengharuskan negara mengeluarkan anggaran untuk impor BBM sekitar 30 juta US Dolar.[4]

Secara umum, Indonesia mencatat tren pertumbuhan positif dalam produksi biodiesel. Bahkan, jika melihat beberapa tahun ke belakang, pertumbuhan produksi biodiesel di Indonesia ini mencapai 65% dalam kurun waktu 2005 hingga 2015. Faktor pendorong peningkatan produksi ini dapat dikategorikan dalam dua fase, yaitu periode sebelum 2014 dan setelah 2014.

Fase pertama dihitung dari tahun 2009 di mana target bauran pertama kalinya dimunculkan pada tahun 2008 melalui Permen ESDM 32/2008.[5] Walaupun kemunculan kebijakan mengenai biodiesel dimulai pada tahun 2006, namun fase tersebut bisa dikatakan sebagai persiapan penerapan kebijakan secara utuh. Karena dalam rentang waktu 2006 hingga 2008, belum terdapat ketentuan mengenai bauran. Persiapan untuk implementasi utuh kebijakan biodiesel di Indonesia juga melihat pada aspek selisih yang cukup jauh dari harga dasar antara biodiesel dan minyak solar. Hal ini menyebabkan produksi biodiesel tidak terlalu menarik dari sisi ekonomi. Atau dengan kata lain, BUBBM tidak melihat ada nilai ekonomi yang menguntungkan dalam konteks produksi biodiesel.

Untuk menyikapi kondisi ini, kebijakan subsidi yang tadinya diperuntukkan bagi jenis minyak tertentu melalui Keputusan Presiden Nomor 71 Tahun 2005 (Kepres 71/2005) tentang Penyediaan dan Pendistribusian Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu direvisi melalui Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2009 (Perpres 45/2009). Perubahan ini kemudian memperluas cakupan dari frasa 'Bahan Bakar Minyak Tertentu' untuk dapat mencakup bahan bakar nabati (biodiesel).[6] Hingga pada akhirnya, ketika target dari bauran biodiesel dicanangkan, sudah terdapat dukungan keuangan yang dapat menutup selisih harga crude palm oil (CPO) dengan petroleum solar.

Kebijakan subsidi ini terbukti bisa mendorong industri biodiesel, sehingga pada tahun 2011-2014 terlihat peningkatan produksi biodiesel Indonesia yang sangat signifikan. Selain itu, peningkatan produksi ini juga didorong oleh permintaan dari beberapa negara yang sedang melaksanakan perluasan penerapan biodiesel dalam kerangka penurunan emisi, yaitu negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Pada fase ini sebagian besar biodiesel diekspor ke negara-negara tersebut dan sebagian kecil didistribusikan di dalam negeri sebagai bagian dari pemenuhan target bauran biodiesel domestik. Namun demikian, apabila merujuk pada tingkat ekspor biodiesel Indonesia sejak tahun 2013 mengalami penurunan. Salah satu sebabnya dikarenakan penerapan kebijakan bea masuk anti dumping (BMAD) oleh Uni Eropa. Namun Indonesia telah menempuh jalur penyelesaian sengketa melalui dispute settlement body di World Trade Organization (WTO). Selanjutnya, Januari 2018 Indonesia memenangkan perkara tersebut.

Pada tahun 2012, terjadi defisit neraca perdagangan pertama sejak tahun 1962. Melihat kondisi tersebut, kebijakan biodiesel dianggap dapat membantu menutup defisit yang terjadi. Dengan harapan bahwa impor minyak mentah (solar) dapat dikurangi dan akan meringankan beban APBN. Akhirnya, Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2013 (Permen ESDM 25/2013) tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 (Permen ESDM 32/2008) tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain, diterbitkan. Permen tersebut mengubah batas minimum bauran biodiesel dari 2,5% menjadi 10%.[7] Sayangnya kebijakan ini tidak dibarengi dengan persiapan di level pelaksanaan dan bertepatan juga dengan semakin turunnya harga komoditas kelapa sawit yang berdampak pada tidak ekonomisnya produksi biodiesel.

Fase kedua meliputi tahun 2014 dan setelahnya, di mana terjadi perubahan atas persentase bauran yang dimandatkan melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 20 Tahun 2014 (Permen ESDM 20/2014) tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Peraturan tersebut menargetkan pencampuran mencapai 30% di tahun 2020, di mana sebelumnya batas minimal campuran hanya sampai 25% di tahun 2025. Pada tahun 2014, produksi biodiesel Indonesia mencapai puncak tertingginya dalam keseluruhan rentang 2009-2017. Namun kondisi ini tidak bertahan lama, karena pada tahun 2015 produksi biodiesel Indonesia mengalami kemerosotan yang cukup jauh dari tahun sebelumnya. Terdapat dua kemungkinan penyebab dari kemerosotan ini, yaitu terkait transisi subsidi biodiesel dari APBN menjadi mekanisme "insentif ekonomi" lewat Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS). Pengalihan subsidi APBN untuk biodiesel yang terjadi tidak semulus yang diharapkan, sehingga berpengaruh pada produksi CPO. Kemungkinan kedua adalah kondisi alam yang melanda Indonesia. El Nino 2015 diketahui menurunkan produktivitas tanaman kelapa sawit.[8]

Di tengah anjloknya produksi biodiesel tersebut, Pemerintah kembali merevisi target bauran biodiesel nasional melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015 (Permen ESDM 12/2015) tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Bauran yang sebelumnya adalah 10%, meningkat menjadi 15% pada tahun 2015.

Peningkatan bauran ini menjadi sebuah skenario yang bukan saja untuk meningkatkan produksi biodiesel, tapi juga untuk menciptakan sebuah pasar domestik. Total produksi biodiesel Indonesia pada 2016 mencapai 3,6 juta kl, meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan produksi pada tahun sebelumnya yang hanya sekitar 1,6 juta kl. Produksi ini dapat terus ditingkatkan karena masih terdapat kapasitas kilang biofuel yang belum dimaksimalkan. Pasar domestik yang didorong dengan Permen telah menjadi harapan baru bagi para produsen apalagi jika peningkatan batas minimal pencampuran minyak nabati dalam diesel dilakukan secara konsisten. Hal ini akan meminimalkan dampak dari kebijakan-kebijakan negara-negara lain yang mengarah pada pembatasan pembelian biodiesel dari Indonesia.

Di pertengahan tahun 2018, produksi biodiesel sudah bisa mencapai tertinggi kedua sepanjang sejarah produksi biodiesel di Indonesia. Dengan diterapkannya Perpres 66/2018 yang meluaskan insentif ekonomi dari BPDP-KS ke sektor non-PSO, dapat diprediksi bahwa di semester kedua tahun 2018 produksi akan semakin meningkat.[9] Di samping produksi yang tinggi, ekspor biodiesel juga sudah menjadi yang tertinggi sejak tahun 2015 sebagai dampak penyelesaian sengketa di World Trade Organization (WTO).

Perkembangan Penetapan Kewajiban Minimal Pemanfaatan Biodiesel (untuk PSO)
Kebijakan 2008 2010 2013 2014 2015 2016 2020 2025
Permen ESDM 32/2008 1% 2,5% 2,5% 2,5% 5% 5% 10% 20%
Permen ESDM 25/2013 - - 10% 10% 10% 20% 20% 25%
Permen ESDM 20/2014 - - - 10% 10% 20% 30% 30%
Permen ESDM 12/2015 - - - - 15% 20% 30% 30%

Kebijakan Energi Umum (General Energy Policy)

Dalam membahas kebijakan energi umum perlu dimulai dengan melihat kepada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 (UU 30/2007) tentang Energi. Melihat dari rentang waktunya, peraturan ini diundangkan setahun setelah kebijakan bauran energi diterbitkan pada tahun 2006. Peraturan ini juga menjadi UU energi yang pertama di Indonesia, artinya sebelum peraturan ini berlaku belum ada pengaturan yang spesifik terkait dengan keseluruhan sektor energi di Indonesia. Dalam konteks energi terbarukan, peraturan ini telah memberikan ruang untuk pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Khusus untuk sumber energi baru dan terbarukan diberikan ruang penguasaan yang diatur oleh negara (tapi bukan dikuasai negara). Berbeda dengan sumber energi lain yang penguasaannya ada di bawah kekuasan negara, sesuai Pasal 33 ayat (2) UU Dasar Republik Indonesia.[10]

".. Sumber daya energi baru dan sumber daya energi terbarukan diatur oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."
Pasal 4 ayat 2

Dalam konteks biodiesel, ini menunjukan peran pemerintah untuk melakukan pengaturan dan perencanaan terkait dengan biodiesel sebagai bagian dari sumber energi baru terbarukan. Pengaturan ini yang kemudian diwujudkan melalui Kebijakan Energi Nasional - KEN (pasal 11) dan Rencana Umum Energi Nasional - RUEN (pasal 17). Melihat pada dinamika perkembangan industri biodiesel, pada dasarnya prosesnya sudah sesuai dengan konteks yang diharapkan dalam peraturan perundangan nasional.

Selain memandatkan untuk melakukan pengaturan melalui KEN dan RUEN, peraturan ini juga mengatur mengenai kewenangan dan peran dari Pemerintah Daerah. Di mana perencanaan maupun pengaturan di tingkat daerah perlu penyusunan Rencana Umum Energi Daerah - RUED (pasal 18) yang didasarkan pada RUEN. Namun ketentuan ini tidak dibarengi dengan ketentuan lanjutan mengenai kapan dan bagaimana seharusnya RUED dijalankan. Sehingga catatan Dewan Energi Nasional, dari 34 Provinsi, hanya 8 yang telah menyusun RUED.[11]

Peraturan ini, walaupun tidak mengatur secara spesifik mengenai biodiesel. Namun telah memberikan arahan dalam pengembangan strategi penerapan biodiesel sebagai energi baru terbarukan. Khususnya terkait dengan pendanaan dan 'insentif ekonomi' yang bisa diberikan oleh Pemerintah dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan energi baru terbarukan.

"..Pemanfaatan energi dari sumber energi baru dan sumber energi terbarukan yang dilakukan oleh badan usaha, bentuk usaha tetap, dan perseorangan dapat memperoleh kemudahan dan/atau insentif dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya untuk jangka waktu tertentu hingga tercapai nilai keekonomiannya."
pasal 21 ayat 3

Dengan adanya ketentuan ini, maka strategi untuk menutup selisih harga dari energi baru terbarukan (dalam hal ini biodiesel) mendapatkan landasan hukum yang jelas sejak awal.

Dalam kaitannya dengan industri hulu biodiesel, keterpaduan dan pelestarian lingkungan hidup telah menjadi asas dan juga tujuan yang mendasari UU energi. Hal ini kemudian juga menjadi penekanan yang lebih spesifik lagi dalam konteks pemanfaatan dan pengelolaan energi. Di mana dalam hal pemanfaatan diharuskan untuk mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, konservasi dan lingkungan hidup (pasal 21). Sedangkan dalam hal pengelolaan, perlu untuk mengutamakan teknologi ramah lingkungan dan memenuhi peraturan perundangan di bidang lingkungan hidup (pasal 8 ayat 1). Secara umum, pengaturan ini telah menjadi landasan bahwa salah satu elemen penting dalam penyediaan energi adalah keberlanjutan lingkungan. Namun pengaturan ini sifatnya masih sangat normatif, sehingga perlu juga melihat peraturan lain yang terkait dengan aspek keberlanjutan lingkungan ini.

Undang Undang Nomor 32 tahun 2009 (UU 32/2009) tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) memberikan landasan dasar terkait hal ini. Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa industri biodiesel sejauh ini selalu dibayang-bayangi permasalahan terkait lingkungan hidup. Khususnya dari sisi hulu yang bersinggungan dengan isu degradasi lahan dan hilangnya tutupan hutan akibat perkebunan kelapa sawit. Ini sangat berkaitan erat dengan tata kelola dari sebuah lanskap yang wilayahnya terdapat perkebunan kelapa sawit. Mengenai hal ini, UU PPLH mengatur mengenai diperlukannya Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang akan memuat kajian di antaranya adalah soal daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan (pasal 16 (a)). KLHS ini yang nantinya harus menjadi basis dari penyusunan kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan dalam suatu wilayah (pasal 17). Selain itu, KLHS juga diwajibkan untuk menjadi landasan bagi penyusunan tata ruang wilayah (pasal 19). Sedangkan pada tingkat proyek (pembangunan perkebunan kelapa sawit), UU PPLH pada pasal 22 ayat 1 mewajibkan pelaku usaha untuk memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Instrumen-instrumen pencegahan tersebut memberikan proteksi yang cukup untuk mencegah terjadinya perusakan lingkungan akibat pembangunan perkebunan kelapa sawit.

Lebih dalam lagi, terkait dengan dukungan terhadap instrumen pencegahan ini, peraturan lain yang juga berkaitan adalah Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 (UU 26/2007) tentang Penataan Ruang dan UU 39/2014 tentang Perkebunan. Pada konteks ini, UU Perkebunan pada dasarnya memberikan aturan mengenai batasan luasan perkebunan:

“Pemerintah Pusat menetapkan batasan luas maksimum dan luas minimum penggunaan lahan untuk Usaha Perkebunan.”
Pasal 14 ayat 1

Ketentuan ini pada dasarnya memandatkan alokasi lahan untuk perkebunan agar menyesuaikan pemanfaatan lahan berdasarkan fungsi ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang tata ruang. Di samping itu, pertimbangan terkait luas maksimum dan minimum penggunaan lahan untuk usaha perkebunan juga perlu mempertimbangkan aspek jenis tanaman, ketersediaan lahan yang sesuai secara agroklimat, modal, kapasitas pabrik, tingkat kepadatan penduduk, pola pengembangan usaha kondisi geografis dan perkembangan teknologi (UU Perkebunan, pasal 14 ayat 2). Namun, pelaksanaan dari pasal tersebut masih belum dapat dilakukan secara maksimal. Karena dimandatkan untuk dilaksanakan berdasarkan pada peraturan pemerintah. Hingga saat ini, peraturan pelaksanaan untuk ketentuan batas maksimum dan minimum areal perkebunan belum dimiliki. Pengaturan mengenai batas minimum dan maksimum tersebut masih dilandaskan pada ketentuan Permen Pertanian Nomor 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.

Dalam hal penyediaan lahan juga diatur pada UU Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pada Pasal 34 ayat 2 UU tersebut dijelaskan tentang pemanfaatan ruang wilayah yang dibagi menjadi dua, yaitu kawasan budidaya yang dikendalikan dan kawasan budidaya yang didorong pengembangannya.

“Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.”
Pasal 1 ayat 22

Kawasan budidaya yang dikendalikan adalah kawasan yang dimanfaatkan sesuai dengan program pemanfaatan ruang wilayah yang diseimbangkan dengan kebutuhan lingkungan. Sedangkan kawasan budi daya yang didorong pengembangannya lebih bersifat eksploitatif, dalam hal ini dapat dimaksudkan bahwa pemanfaatan kawasannya tersebut digunakan secara semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan program pemanfaatan ruang wilayahnya.

Pemanfaatan ruang wilayah seperti yang dijelaskan tersebut juga harus dikendalikan pemanfaatannya, yang dapat dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi (Pasal 35). Peraturan zonasi disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap zona pemanfaatan ruang, hal tersebut dianggap dapat mempermudah pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam pengaturan pemanfaatan ruang wilayah. Ketika wilayah sudah dipetakan menurut zonasi maka pihak terkait tinggal mengurus tentang perizinan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketika kegiatan pemanfaatan ruang berlangsung pemerintah dan pemerintah daerah dapat memberikan intensif dan disinsentif untuk mendukung pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.

Analisis Hukum Terhadap Konteks Kebijakan Energi Umum

Secara umum, instrumen hukum umum yang dimiliki Indonesia mencukupi untuk melepas isu negatif yang membayangi industri biodiesel. Permasalahan yang muncul terletak pada pelaksanaan dari norma yang dituangkan dalam peraturan perundangan tersebut. Bagian ini akan melihat pada tantangan yang dihadapi oleh industri biodiesel Indonesia terkait dengan isu degradasi lahan dan hilangnya tutupan hutan. Dalam konteks perlindungan lingkungan bagi penyediaan energi, UU energi telah memberikan pengaturan secara umum. Penegasan terhadap ketentuan umum tersebut kemudian diikuti dengan pengaturan lingkungan hidup, perkebunan dan tata ruang yang secara normatif telah memberikan jaminan agar tidak terjadi simpang siur pengelolaan perkebunan (khususnya terkait penyediaan lahan). Tetapi dengan adanya peraturan perundang-undangan tersebut, belum menjamin permasalahan penyediaan lahan untuk kelapa sawit yang merupakan bahan baku biodiesel dapat terselesaikan.

Misalnya saja, masih ditemukan beberapa keadaan di mana kebijakan penataan ruang suatu wilayah (yang akan dibuka perkebunan sawit) masih belum selesai dan bahkan tidak bisa diperoleh. kondisi ini membuka peluang tumpang tindih konsesi perkebunan. Selain itu, KLHS yang diwajibkan sebagai sebuah landasan utama dalam konteks penyediaan lahan pelaksanaannya masih sangat lambat. Pada tahun 2016 (7 tahun setelah UU PPLH diundangkan), Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 (PP 46/2016) tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis baru diundangkan. Artinya, banyak permasalahan yang telah terjadi pada rentang waktu tujuh tahun sejak KLHS dimandatkan dalam UU PPLH. Proses pelaksanaan norma dalam peraturan yang cukup lambat ini menambah beban pengelolaan dan memperbesar tantangan yang terjadi di lapangan.

Apabila melihat logika hukum yang tertuang dalam peraturan perundangan umum soal energi (general energy policy), maka perencanaan akan menjadi landasan dari pengelolaan. Sehingga, secara prinsipil bisa dikatakan bahwa untuk menjawab tantangan industri hulu biodiesel dapat dimulai dengan perencanaan yang baik (dari sisi hulu dan hilir). Perencanaan perkebunan sebagai titik awalnya akan memberikan arah, pedoman, dan alat pengendali pencapaian tujuan penyelenggaraan perkebunan (pasal 5 ayat 1 UU Perkebunan). Dalam perencanaan tersebut akan mempertimbangkan beberapa aspek seperti kesesuaian penataan ruang, daya dukung dan daya tampung lingkungan, serta rencana pembangunan nasional. Artinya, perencanaan perkebunan ini bisa menjadi sebuah kerangka kerja dalam mewujudkan perkebunan yang berkelanjutan. Namun, pelaksanaan dari pasal 5 ayat 1 tersebut hingga hari ini masih belum terlihat. Perencanaan perkebunan baik pada skala nasional, provinsi maupun kabupaten masih bersifat "sampingan", dan dituangkan secara business as usual ke dalam dokumen perencanaan umum. Artinya, perencanaan yang dilakukan belum menyentuh pada alokasi penyediaan supply untuk biodiesel, target peningkatan produksi untuk bahan baku biodiesel, dan insentif bagi pekebun yang berkontribusi untuk biodiesel. Beberapa aspek ini menjadi penting untuk dimiliki pada tingkat perencanaan perkebunan, karena itu berarti pemerintah telah secara utuh memikirkan konteks biodiesel sebagai kebijakan strategis nasional. Ketika ini tidak dilakukan, peluang untuk terjadinya mismanajemen menjadi semakin besar. Sehingga pada akhirnya ini menjadi salah satu penyebab pembukaan lahan perkebunan tumpang tindih dengan berbagai fungsi ruang lainnya, dan produk biodiesel dibayangi dengan anggapan yang buruk.

Kebijakan Energi Sektoral (Sectoral Energy Policy)

Setelah melihat gambaran dari kebijakan umum energi di Indonesia, bagian ini akan mengupas mengenai kebijakan dari masing-masing sektor yang berpengaruh kepada dinamika penerapan kebijakan biodiesel di Indonesia. Namun, sebelum masuk ke dalam masing-masing sektor, pembahasan akan dimulai dari kebijakan sektor energi. Pada bagian sebelumnya, telah banyak dibahas mengenai latar dari kebijakan bauran biodiesel. Bagian ini akan menekankan pada aspek lain yang terkait dengan pengaturan dari pelaksanaan kebijakan bauran tersebut.

Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 (Perpres 5/2006) tentang Kebijakan Energi Nasional pada 25 Januari 2006, dan dibarengi dengan Instruksi Presiden nomor 1 tahun 2006 (Inpres 1/2006) tentang Penyediaan Dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain. Menandakan dimulainya kebijakan nasional untuk energi baru terbarukan khususnya biodiesel. Kebijakan tersebut menetapkan bauran energi (energy mix) sebesar 5% terhadap pemanfaatan energi primer pada tahun 2025. Lalu peraturan tersebut berubah ketika Permen ESDM 32/2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan Dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain mengubah target bauran di tahun 2025 menjadi 20% lalu target bauran tersebut diubah dan dipercepat di tahun 2013 melalui Permen ESDM 25/2013 yang awalnya menargetkan bauran 20% di tahun 2025 dipercepat menjadi tahun 2016.

Melalui Inpres 1/2006, Presiden menginstruksikan 13 kementerian serta gubernur, bupati, dan walikota di Indonesia untuk mengambil langkah-langkah percepatan penyediaan dan pemanfaatan biofuel. Hal menarik dari Inpres ini adalah ditunjuknya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sebagai koordinator persiapan pelaksanaan penyediaan biodiesel. Fakta ini menunjukan bahwa pemerintah (dalam hal ini Presiden) menyadari bahwa terdapat keterkaitan antar sektor yang berperan dalam kelancaran program biodiesel. Hulu dan hilir dari industri ini akan saling mempengaruhi dan menentukan kelancaran dari penerapan kebijakan. Sehingga, walaupun biodiesel pada akhirnya akan menjadi sebuah produk yang berada di bawah kewenangan sektor energi (Menteri ESDM), Pemerintah tidak memandang bahwa isu biodiesel hanya menjadi urusan Menteri ESDM.

Instruksi yang ditekankan kepada Menteri ESDM lebih bersifat operasional dan teknis pengelolaan. Seperti distribusi, penentuan insentif, dan standar mutu dari biodiesel yang akan di distribusikan. Namun demikian, instruksi selanjutnya kepada kementerian/lembaga dan pemerintah daerah dalam Inpres ini malah mengundang pro dan kontra. Ini pula yang pada akhirnya menjadi salah satu pertanyaan terbesar dari kebijakan biodiesel Indonesia (khususnya terkait hutan dan lahan). Karena, instruksi bagi Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Pemerintah Daerah (gubernur maupun bupati/walikota) menyiratkan pesan untuk melakukan ekspansi lahan guna pengembangan tanaman Biodiesel. Pasalnya Menteri Pertanian diinstruksikan untuk menyediakan tanaman bahan baku biodiesel (termasuk bibit). Menteri Kehutanan mendapat instruksi untuk memberikan izin pemanfaatan lahan hutan yang tidak produktif untuk digunakan sebagai lahan pengembangan bahan baku biodiesel. Terakhir Pemerintah Daerah mendapatkan instruksi untuk memfasilitasi penyediaan lahan bagi pengembangan biodiesel. Sedangkan Menteri Lingkungan Hidup hanya mendapatkan instruksi untuk mensosialisasikan penggunaan biodiesel kepada masyarakat sebagai bagian dari energi ramah lingkungan.

Masih dalam rangkaian pelaksanaan terhadap Inpres tersebut, pada tanggal 24 Juli 2006 diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 (Keppres 10/2006) tentang Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati untuk Percepatan Pengurangan Kemiskinan dan Pengangguran. Tim ini ditugaskan untuk menyusun sebuah peta jalan (roadmap) untuk pengembangan BBN. Roadmap tersebut seakan ingin meluruskan persepsi soal ekspansi lahan akibat pengembangan biodiesel. Hal ini terlihat dari arahan terkait pengembangan BBN dari kelapa dan sawit di mana diperlukan area khusus (dedicated area) dan prioritas pengembangan adalah pada lahan perkebunan yang terindikasi tidak aktif. Ini membatasi anggapan bahwa penerapan biodiesel sama dengan penambahan lahan perkebunan kelapa sawit. Namun, aplikasi operasional dari roadmap ini tidak terlalu jelas. Karena berdasar data statistik perkebunan 2017, terdapat penambahan sekitar 8 juta hektar lahan perkebunan kelapa sawit semenjak 2006.

Perkebunan

Sektor pertama yang perlu dilihat dari sisi peraturan kebijakan terkait industri hulu biodiesel adalah sektor perkebunan, khususnya kelapa sawit yang akan memberikan supply bahan baku produksi utama biodiesel. Namun pada sektor ini masih banyak permasalahan yang harus ditangani. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan kolaborasi dari seluruh pihak yang memiliki kewenangan yang bersinggungan di bidang perkebunan kelapa sawit. Mulai dari kementerian KLHK, kementerian pertanian maupun pemerintah daerah setempat.

Salah satu tantangan terbesar industri biodiesel yang kerap kali muncul dalam hal penyediaan bahan baku adalah persoalan penyediaan lahan perkebunan yang ditengarai sebagai salah satu penyebab terbesar kerusakan ekosistem hutan. Menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/Permentan/Ot.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, pada dasarnya terdapat 3 jenis usaha perkebunan, yaitu 1) usaha budidaya tanaman perkebunan, 2) usaha industri pengolahan hasil perkebunan, dan 3) usaha perkebunan yang terintegrasi antara budidaya dengan industri pengolahan hasil perkebunan.[12] Menurut Permentan tersebut usaha budidaya tanaman perkebunan adalah:

“Usaha Budidaya Tanaman Perkebunan adalah serangkaian kegiatan pengusahaan tanaman perkebunan yang meliputi kegiatan pra-tanam, penanaman, pemeliharaan tanaman, pemanenan dan sortasi termasuk perubahan jenis tanaman, dan diversifikasi tanaman.”
Pasal 1 ayat 3

Untuk tanaman perkebunan yang luasnya kurang dari 25 hektar cukup melakukan pendaftaran melalui bupati atau walikota, kemudian usaha yang terdaftar akan diberikan Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan untuk Budidaya (STD-B). Sedangkan usaha budidaya tanaman perkebunan dengan luas 25 hektar atau lebih, wajib memiliki Izin Usaha Perkebunan Budidaya (IUP-B). Sesuai dengan peraturan perundangan di bidang lingkungan hidup, untuk mendapatkan IUP, diperlukan adanya AMDAL, izin lingkungan dan persyaratan administratif lainnya. Namun demikian, salah satu titik krusial dari peraturan ini adalah lemahnya sistem check and balance terkait dengan penerbitan IUP. Karena kewenangan penerbitan IUP ada di tangan gubernur/walikota (Pasal 19). Sedangkan salah satu prasyarat perizinan yang dibutuhkan untuk penerbitan IUP adalah terdapat izin lokasi yang diterbitkan juga oleh gubernur/walikota (Pasal 22).

Kondisi ini menjadikan pejabat penerbit izin juga merupakan pejabat yang mengeluarkan prasyarat penerbitan izin. Titik check and balance dari proses perizinan menjadi penting, karena perizinan dari sisi fungsinya adalah merupakan perangkat administratif untuk melakukan pengendalian.[13] Apabila penerbit izin juga menjadi pihak yang menerbitkan prasyarat perizinan, maka tidak terdapat elemen untuk dapat memastikan validitas dari prasayarat tersebut. Karena dari sisi tata kelola pemerintahan yang baik, setidaknya izin harus memenuhi aspek transparansi, akuntabilitas, partisipasi, koordinasi, efektivitas, kepastian hukum dan efisiensi.[14]

Pada sisi lain, tantangan yang juga dihadapi oleh sektor perkebunan adalah petani swadaya yang mengelola lahan di bawah 25 hektar. Peraturan perundangan tidak mewajibkan kelompok pekebun ini untuk memiliki HGU, dan cukup mendaftarkan usahanya melalui bupati/walikota untuk mendapatkan STDB. Tata cara untuk memperoleh STDB ini didasari oleh Keputusan Direktorat Jenderal Perkebunan Nomor 105 Tahun 2018 tentang Pedoman Penerbitan STDB. Sehingga sebelum terbitnya peraturan ini, pelaksanaan penerbitan STDB, tidak seragam dan hanya didasarkan pada Permentan 98/2013 tentang Perizinan Usaha Perkebunan. Ini juga yang menjadi latar belakang dari diterbitkannya pedoman untuk penerbitan STDB tersebut.[15] Namun ini berarti, efektivitas dari pelaksanaannya di lapangan masih perlu dilihat beberapa waktu mendatang.

Sebelumnya, ini adalah tantangan yang sangat besar, karena banyak oknum pekebun dengan skala menengah dan besar bersembunyi dibelakang definisi "petani/pekebun rakyat". Selama lahan yang mereka kelola di bawah 25 Hektar, mereka tidak diwajibkan untuk memiliki HGU. Namun implikasi lingkungan yang disebabkan juga cukup besar. Hal ini bisa terjadi karena Pemerintah Daerah tidak memiliki data yang valid terkait dengan keberadaan para petani/pekebun rakyat di daerah mereka. Sehingga secara sporadis, pertumbuhan perkebunan tidak dapat terkontrol. Dengan diterbitkannya pedoman ini, diharapkan tantangan ini dapat dijawab dan tidak lagi menjadi hambatan di masa yang akan datang.

Pabrik Kelapa Sawit (Mills)

Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2016 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Tahun 2013 melakukan perubahan terkait dengan definisi dari unit pengolahan hasil perkebunan, atau sering dikenal dengan pabrik kelapa sawit (PKS).

Permentan 98/Permentan/Ot.140/9/2013 Permentan 29/Permentan/Kb.410/5/2016
Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan adalah serangkaian kegiatan penanganan dan pemrosesan yang dilakukan terhadap hasil tanaman perkebunan yang ditujukan untuk mencapai nilai tambah yang lebih tinggi dan memperpanjang daya simpan. Unit Pengolahan Hasil Perkebunan selanjutnya disebut Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan adalah serangkaian kegiatan penanganan dan pemrosesan yang dilakukan terhadap hasil tanaman perkebunan yang ditujukan untuk mencapai nilai tambah yang lebih tinggi dan memperpanjang daya simpan

Perubahan tersebut hanya menyangkut dari tambahan dari definisi atas PKS, dan tidak menambah atau mengubah definisnya itu sendiri. Implikasinya adalah PKS tidak dapat berdiri sendiri sebagai sebuah usaha, namun menjadi sebuah unit dari usaha perkebunan itu sendiri. Hal ini sejalan dengan persyaratan untuk mendapatkan IUP-P di mana terdapat kewajiban untuk memenuhi penyediaan bahan baku paling rendah 20% dari kebun sendiri. Berarti mereka diharuskan memiliki kebun sendiri dan kekurangannya dipenuhi dari kebun masyarakat/perusahaan perkebunan lain melalui kemitraan (pasal 11 ayat 1). Perubahan definisi ini juga pada akhirnya memperjelas ketentuan untuk perkebunan di atas 1000 hektar untuk wajib terintegrasi dengan PKS (pasal 10).

Dalam kerangka kebijakan B20, tidak ada peraturan khusus untuk pabrik yang akan mengolah CPO sebagai bahan baku biodiesel. Tetapi apabila pabrik CPO juga ingin mengolah biodiesel maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara lain pengajuan kepada BUBBM yang akan mendistribusikan biodiesel. Pengajuan tersebut didasari dengan evaluasi yang akan dilakukan oleh kementerian ESDM. Namun terdapat hal yang perlu diperhatikan terkait dengan PKS untuk industri biodiesel. Melalui Permentan Nomor 11 Tahun 2015 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan (ISPO), terdapat kewajiban untuk memiliki sertifikasi ISPO bagi pelaku usaha perkebunan kelapa sawit. Namun kewajiban ini dikecualikan bagi beberapa pelaku usaha yang tergolong swadaya dan plasma. Selain itu pengecualian juga diberlakukan pada PKS yang melakukan usaha untuk budidaya perkebunan terintegrasi dengan usaha pengolahan dan energi terbarukan.

Ketika melihat dinamika industri hulu biodiesel yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Pengecualian yang diberlakukan untuk sertifikasi ISPO bagi PKS yang memproduksi biodiesel menjadi tidak relevan. Karena, pada kenyataannya terdapat banyak tantangan yang dihadapi oleh pelaku usaha dalam konteks pengelolaan perkebunan maupun pengelolaan PKS. Pengecualian pada ISPO dapat dipahami dalam konteks petani swadaya, karena memang untuk melakukan sertifikasi ISPO dibutuhkan biaya khusus. Sedangkan untuk pelaku usaha swasta (menengah hingga besar), seharusnya pengecualian ini tidak diberlakukan, termasuk untuk PKS yang memproduksi biodiesel.

Pabrik Biodiesel (BUBBN)

Posisi pabrik biodiesel dalam keseluruhana rantai pasok ada pada pertengahan proses. Artinya masih terkait dengan sektor perkebunan (khususnya dengan pabrik pengolahan CPO), namun juga sudah masuk ke dalam cakupan dari sektor energi. Walaupun pabrik CPO dan pabrik biodiesel berkaitan, tetapi keduanya memiliki syarat pendirian dan dasar hukum yang berbeda. Dalam konteks penyediaan bahan bakar nabati, pengaturan merujuk pada Kementerian ESDM. Pabrik biodiesel diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 41 Tahun 2018 (Permen ESDM 41/2018) tentang Penyediaan Dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel Dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.

Dalam proses pengajuan izinnya BUBBN harus menyampaikan permohonan kepada Dirjen EBTKE dengan menyerahkan persyaratan sebagai berikut (Pasal 7 ayat 2):

  1. bukti bahwa BBN Jenis Biodiesel yang diproduksi atau disalurkan telah memenuhi standar kualitas atau spesifikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. surat pernyataan mengenai jaminan ketersediaan BBN Jenis Biodiesel untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri secara berkesinambungan.

Lalu apabila pengajuan diterima, maka penetapan BUBBN disampaikan Dirjen EBTKE kepada Badan Usaha BBM, yang salinannya disampaikan kepada Dirjen Migas dan Badan Pengelola Dana. Berdasarkan penetapan BUBBN, BUBBM menyampaikan usulan kepada Menteri melalui Dirjen EBTKE untuk mengikuti pengadaan biodiesel paling lambat lima hari kerja sejak penetapan BUBBN. Pengusulan BUBBN oleh BUBBM merupakan bagian dari proses pengadaan dengan mekanisme penunjukan langsung yang memperhatikan prinsip transparansi, efektivitas, efisiensi, keadilan, dan keberlanjutan.

Ada 19 BUBBN yang mendapatkan alokasi biodiesel yaitu PT Cemerlang Energi Perkasa, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, PT Pelita Agung Industri, PT Ciliandra Perkasa, PT Darmex Biofuels, PT Musim Mas, PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Bayas Biofuels, PT LDC Indonesia, PT SMART Tbk, PT Tunas Baru Lampung, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Permata Hijau Palm Oleo, PT Intibenua Perkasatama, PT Batara Elok Semesta Terpadu, PT Dabi Biofuels, PT Sinarmas Bio Energy, PT Kutai Refinery Nusantara, dan PT Sukajadi Sawit Meka.

Ketika seluruh proses tersebut sudah dilakukan, maka BUBBN memiliki kewajiban untuk memenuhi kuota volume yang sudah ditentukan berdasarkan hasil evaluasi Dirjen EBTKE. Secara khusus penetapan penentuan volume terdapat pada Keputusan Menteri ESDM Nomor 1935 K/10/MEM/2018 untuk volume biodiesel PSO dan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 1936 K/10/MEM/2018 untuk volume biodiesel non-PSO. Selain memenuhi volume yang ditetapkan, BUBBN juga tetap menjaga kualitas biodiesel dan ketepatan waktu. Apabila hal tersebut tidak dapat dipenuhi maka akan ada sanksi administratif berupa denda dan pencabutan izin.

Kerangka Institusi Industri Biodiesel Indonesia

Sejak dicanangkan, kebijakan biodiesel selalu dipandang sebagai sebuah kebijakan yang memerlukan kerangka institusional negara maupun swasta yang saling berkoordinasi antara satu dan yang lainnya. Setelah melihat kebijakan yang melandasi kebijakan biodiesel, bagian ini akan menekankan pada kerangka institusional yang menyokong kebijakan biodiesel. Identifikasi terhadap institusi yang terlibat, serta kaitannya antara satu institusi dengan yang lainnya dalam melakukan pemahaman terhadap industri biodiesel menjadi penting. Khususnya untuk melihat bagaimana masing-masing institusi dapat memberikan pengaruh terhadap keseluruhan proses industri biodiesel. Dalam melihat kerangka institusional terkait rantai produksi industri biodiesel, riset ini membaginya menjadi dua aktor utama yaitu 1) Kementerian/Lembaga Pemerintah dan 2) Swasta (termasuk BUMN dan perkebunan).

Gambar Posisi Institusi Pemerintah dalam Biodiesel Indonesia
Gambar Posisi Institusi Pemerintah dalam Biodiesel Indonesia

Pemerintah

Gambar diatas menunjukan cakupan dari peran masing-masing institusi Pemerintah dan swasta dalam keseluruhan rantai pasok biodiesel di Indonesia. Cakupan Kementerian dan Lembaga (K/L) tersebut merujuk pada instruksi kepada masing-masing K/L dalam Inpres 1/2006. Walaupun menurut pendapat dari beberapa praktisi energi di Indonesia, keberadaan Inpres tersebut tidak lagi terlalu relevan hari ini. Akan tetapi, setidaknya instruksi dalam Inpres tersebut bisa memberikan sebuah rujukan awal terkait keterlibatan K/L dalam dinamika kebijakan biodiesel. Karena, hingga hari ini, belum terdapat pembagian kewenangan kepada K/L selain dari Inpres 1/2006 tersebut. Selain itu, berangkat dari kebijakan tersebut, refleksi dan evaluasi untuk pengembangan saran menuju perbaikan kerangka institusional di masa yang akan datang. Tabel di bawah ini akan mencoba melihat pembagian peran dari masing-masing K/L dan akan disandingkan dengan melihat konteks saat ini.

Konteks saat ini:

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengkoordinasikan penyiapan lahan termasuk di antaranya kegiatan optimalisasi lahan kritis untuk produksi komoditas bernilai ekonomi tinggi termasuk diantaranya kelapa sawit yang menjadi komoditas utama bahan baku biodiesel. Sejak tahun 2013, Kemendagri memiliki program Penanganan Lahan Kristis dan Sumber Daya Air Berbasis Masyarakat (PLKSDA-BM), sebuah program yang berada di bawah Direktorat Jenderal Bina Pengembangan Daerah (Bangda). Dalam konteks hari ini, pada dasarnya program ini dapat dijadikan salah satu pijakan untuk melihat pada beberapa isu penyediaan lahan yang menjadi salah satu pertanyaan besar dalam industri biodiesel. Kemendagri bisa memainkan peranan penting untuk memastikan daerah melakukan perannya dalam penyusunan Rencana Umum Energi Daerah, Kajian Lingkungan Hidup Strategis, dan pelaksanaan inventarisasi sebagai bagian dari pelaksanaan program. Berdasar penelusuran yang dilakukan, pengembangan program yang ada selama ini lebih menekankan pada daerah Jawa, dan belum memasuki wilayah yang menjadi sentra produksi kelapa sawit.

Tabel Pembagian Peran Pemerintah dalam Rantai Pasok Biodiesel
No Kementrian/Lembaga Negara Tugas Pokok dan Fungsi
1 Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Mengkoordinasikan persiapan pelaksanaan penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.
Konteks saat ini:

Hingga pada saat perluasan penerapan kebijakan biodiesel pada Agustus 2018, Menko Perekonomian masih berperan besar dalam mengkordinasikan K/L maupun pihak pelaku usaha. Selain itu, Kemenko Perekonomian juga menjadi koordinator dalam proses penguatan ISPO sebagai bagian dari perbaikan tata kelola industri kelapa sawit (hulu biodiesel).

Namun saat ini, selain Kemenko Perekonomian, terdapat juga peran yang dimainkan Kemenko Maritim dan Sumber Daya Alam terkait dengan biodiesel. Salah satunya adalah peran diplomasi untuk menghadapi beberapa tantangan dari konteks ekspor biodiesel /CPO ke Eropa. Keterlibatan Kemenko Maritim lebih bernuansa politis dan bukan dalam konteks pengelolaan biodiesel pada skala produksi, konsumsi dan pasar domestik. Namun ini menunjukan bahwa isu biodiesel harus dilihat sebagai isu strategis nasional yang memerlukan perencanaan yang matang dalam kerangka koordinasi antar instansi.

2 Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
  • Menetapkan dan melaksanakan kebijakan penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain, yang antara lain memuat jaminan ketersediaan bahan bakar nabati (biofuel) serta jaminan kelancaran dan pemerataan distribusinya;
  • Menetapkan paket kebijakan insentif dan tarif bagi pengembangan penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain dengan berkoordinasi dengan instansi terkait;
  • Menetapkan standar dan mutu bahan bakar nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain;
  • Menetapkan sistem dan prosedur yang sederhana untuk pengujian mutu bahan bakar nabati (biofuel)sebagai Bahan Bakar Lain;
  • Menetapkan tata niaga yang sederhana dari bahan bakar nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain ke dalam sistem tata niaga Bahan Bakar Minyak;
  • Melaksanakan sosialisasi penggunaan bahan bakar nabati (biofuel)sebagai Bahan Bakar Lain;
  • Mendorong perusahaan yang bergerak di bidang energi dan sumber daya.
Konteks saat ini:

ESDM melakukan perannya dalam pembuatan kebijakan implementatif, penetapan tarif biodiesel, penyiapan insentif baik yang sifatnya fiskal maupun non-fiskal, menunjuk perusahaan penyalur BBM, pengaturan alur distribusi, serta menyelenggarakan sosialisasi kepada masyarakat terkait penggunaan produk BBN. Setelah dicanangkannya kebijakan wajib B20 bagi PSO serta pemberian insentif ekonomi melalui dana sawit pada tahun 2015, Kementerian ESDM memiliki fungsi lain untuk melakukan verifikasi terhadap Badan Usaha BBN yang akan menerima insentif berupa penggantian selisih harga. Perkembangan terakhir adalah harga indeks diperbarui melalui Keputusan Menteri No. 1939 K/10/MEM /2018 dan juga revisi terhadap mekanisme insentif ekonomi melalui penerbitan Permen ESDM 41/2018.

Kementerian ESDM juga melakukan fungsi pengawasan terhadap BUBBM yang telah ditunjuk untuk menyalurkan BBM campuran agar kegiatan pencampuran berjalan dengan baik sesuai dengan target mandatori dan BBM campuran dapat didistribusikan dengan baik sampai dengan masyarakat pengguna. Namun demikian, fungsi pengawasan ini sebelumnya tidak terlalu banyak diperhatikan. Pada September 2018, setelah wacana mengenai biodiesel kembali menguat (perluasan penerapan mandatori B20). Kementerian ESDM mulai memberikan perhatian terhadap aspek pengawasan tersebut, dan melengkapi Permen ESDM dengan sanksi Rp.6000/liter apabila ditemui tidak melakukan pencampuran. Peran ini seharusnya juga perlu untuk diperkuat dengan memperkuat kelembagaan dan sistem pengawasan yang dimiliki oleh Kementerian ESDM.

3 Menteri Pertanian
  • Mendorong penyediaan tanaman bahan baku bahan bakar nabati (biofuel) termasuk benih dan bibitnya;
  • Melakukan penyuluhan pengembangan tanaman bahan baku bahan bakar nabati (biofuel);
  • Memfasilitasi penyediaan benih dan bibit tanaman bahan baku bahan bakar nabati (biofuel);
  • Mengintegrasikan kegiatan pengembangan dan kegiatan pasca panen tanaman bahan baku bahan bakar nabati (biofuel).
Konteks saat ini

Kementerian Pertanian (Kementan) merupakan regulator utama sektor hulu program biodiesel, terutama terkait dengan penyediaan bahan baku utamanya yaitu kelapa sawit. Fungsi Kementan meliputi pengawasan kegiatan produksi perkebunan, penyediaan varietas benih unggul, penguatan kapasitas petani melalui program pelatihan, serta mengintegrasikan kegiatan produksi dengan program pasca panen. Dalam hal peran Kementan dalam kegiatan pasca panen, cakupannya sampai pada pelaku usaha pengolahan (BUBBN) yang terintegrasi dengan perkebunan.

Catatan yang penting apabila melihat pada perkembangannya adalah belum jelasnya posisi Kementan dalam hal penyediaan tanaman untuk bahan baku biodiesel. Artinya, pertanyaan yang masih tersisa adalah apakah untuk penyediaan ini kementan masih akan mendorong pengembangan lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit. Atau melakukan intensifikasi terhadap lahan-lahan perkebunan yang saat ini telah beroperasi. Walaupun dalam wawancara yang dilakukan dinyatakan bahwa Kementan telah menerapkan program untuk intensifikasi, namun aktualisasi di lapangan masih belum terlalu banyak. Selain itu, penunjukan dedicated area untuk pengembangan biodiesel juga belum ditemukan.

Hal ini menjadi penting untuk diperhatikan, agar anggapan bahwa biodiesel menjadi bahan bakar yang tidak ramah lingkungan akibat 'rakus lahan' tidak terus terjadi. Setidaknya, Kementan bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dapat melakukan sebuah kerja sama antar kementerian terkait dengan penghitungan daya tampung dan daya dukung lingkungan hidup terkait dengan perkebunan kelapa sawit. Langkah ini bisa menunjukan kepada dunia internasional bahwa Pemerintah Indonesia mengambil langkah nyata untuk menjadikan biodiesel sebagai isu strategis nasional.

4 Menteri Kehutanan Memberikan izin pemanfaatan lahan hutan yang tidak produktif bagi pengembangan bahan baku bahan bakar nabati (biofuel) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5 Menteri Negara Lingkungan Hidup Melakukan sosialisasi dan komunikasi kepada masyarakat mengenai pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain yang ramah lingkungan.
Konteks saat ini:

Sejak 2014, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementrian Kehutanan digabung dan menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Ketika merujuk pada fungsi yang diharapkan dalam Inpres 1/2006, perannya berbeda. Karena KLH hanya diharapkan untuk dapat melakukan sosialisasi, sedangkan Kementerian Kehutanan (Kemhut) diharapkan untuk dapat memberikan izin pemanfaatan hutan yang tidak produktif. Sekilas, peran tersebut nampak bisa lebih serasi ketika dijalankan dalam satu kementerian seperti KLHK. Namun pada kenyataannya fungsi untuk penyediaan lahan dan sosialisasi berada pada ranah direktorat yang berbeda dalam internal KLHK.

Namun di sisi lain, hal ini dapat menjadi peluang untuk membenahi tata kelola biodiesel di Indonesia. Sehingga strategi maupun perencanaan dalam konteks penyediaan lahan dapat dijalankan dengan lebih efisien. Dalam konteks ini, KLHK dapat melakukan inventarisasi lahan-lahan yang tidak produktif, lalu menyiapkan skenario untuk pengembangan tanaman bahan baku untuk biodiesel, sehingga secara bersamaan proses sosialisasi juga dapat dijalankan dengan sistematis. Permasalahan utamanya adalah, biodiesel di Indonesia hampir semuanya berbahanKonteks saat ini:

Sejak 2014, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementrian Kehutanan digabung dan menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Ketika merujuk pada fungsi yang diharapkan dalam Inpres 1/2006, perannya berbeda. Karena KLH hanya diharapkan untuk dapat melakukan sosialisasi, sedangkan Kementerian Kehutanan (Kemhut) diharapkan untuk dapat memberikan izin pemanfaatan hutan yang tidak produktif. Sekilas, peran tersebut nampak bisa lebih serasi ketika dijalankan dalam satu kementerian seperti KLHK. Namun pada kenyataannya fungsi untuk penyediaan lahan dan sosialisasi berada pada ranah direktorat yang berbeda dalam internal KLHK.

Namun di sisi lain, hal ini dapat menjadi peluang untuk membenahi tata kelola biodiesel di Indonesia. Sehingga strategi maupun perencanaan dalam konteks penyediaan lahan dapat dijalankan dengan lebih efisien. Dalam konteks ini, KLHK dapat melakukan inventarisasi lahan-lahan yang tidak produktif, lalu menyiapkan skenario untuk pengembangan tanaman bahan baku untuk biodiesel, sehingga secara bersamaan proses sosialisasi juga dapat dijalankan dengan sistematis. Permasalahan utamanya adalah, biodiesel di Indonesia hampir semuanya berbahan dasar kelapa sawit. Sehingga perlu dicarikan alternatif untuk bahan baku lain, sehingga KLHK dapat berperan tanpa menghilangkan fungsinya sebagai regulator di sektor kehutanan.

Pada tahun 2017, Menteri KLHK mulai mewacanakan kembali pembangunan Hutan Tanaman Energi (HTE). Namun secara operasional, wacana ini belum dapat terlihat efektivitasnya karena memang masih sebatas wacana. Kebijakan untuk pengadaan HTE tersebut telah dituangkan ke dalam Roadmap Pembangunan Industri Kehutanan Berbasis Hutan Tanaman 2013-2018 sebesar 900.000 Ha. Namun hingga saat ini aktualisasi di lapangan masih belum beisa ditemukan.

6 Menteri Perindustrian Meningkatkan pengembangan produksi dalam negeri peralatan pengolahan bahan baku bahan bakar nabati (biofuel) dan mendorong pengusaha dalam mengembangkan industri bahan bakar nabati (biofuel).
Konteks saat ini:

Dukungan Kementerian Perindustrian dalam penerapan kebijakan biodiesel di Indonesia saat ini dengan memberikan dorongan dan persiapan sektor industri sebagai pengguna akhir/end user bagi biodiesel terutama industri otomotif.[16] Selain itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) juga menyiapkan regulasi bagi hilirisasi industri kelapa sawit di Indonesia termasuk regulasi pendukung bagi pabrik-pabrik biodiesel.[17] Pada tahun 2010, Kemenperinmenerbitkan roadmap pengembangan klaster industri hilir kelapa sawit. Salah satu cakupannya adalah industri pengolahan biodiesel yang didorong untuk prioritas daerah Sumatera Utara, Riau, dan Kalimantan Timur. Salah satu hal yang menarik dan penting untuk diketahui adalah dokumen roadmap ini juga sudah dilengkapi dengan pembagian peran antar K/L terkait dengan penguatan industri hilir kelapa sawit. Di mana salah satu rencana aksinya mencakup juga industri hulu (peningkatan akses kredit petani).

Namun, dalam perkembangan kebijakan biodiesel, nampaknya tidak terlalu banyak pembicaraan yang mengangkat keberadaan roadmap tersebut. Seharusnya, ketika biodiesel atau pemanfaatan BBN dijadikan bagian dari transformasi energi di Indonesia menuju EBT. Setiap sektor yang terlibat perlu untuk memiliki semacam rencana strategis peran sektor tersebut untuk berkontribusi dalam kebijakan biodiesel.

7 Menteri Perdagangan
  • Mendorong kelancaran pasokan dan distribusi bahan baku bahan bakar nabati (biofuel);
  • Menjamin kelancaran pasokan dan distribusi komponen-komponen peralatan pengolahan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel).
Konteks saat ini:

Peran utama Kementerian Perdagangan (Kemendag) terhadap industri biodiesel adalah menyiapkan regulasi ekspor-impor produk kelapa sawit serta melakukan negosiasi bilateral ataupun multilateral dengan pihak negara lain sebagai tujuan ekspor biodiesel ataupun produk turunan kelapa sawit lainnya. Pada awal tahun ini, Kemendag memenangkan sengketa terhadap kebijakan larangan ekspor (anti-dumping) biodiesel yang diterapkan Uni Eropa sejak tahun 2013.[18] Selain itu, Kemendag juga melakukan perluasan pasar ekspor kepada beberapa negara Asia Timur antara lain Tiongkok dan Jepang.[19]

Dalam konteks hari ini, pada dasarnya peran Kemendag bisa juga mencakup penyiapan pasar domestik dari biodiesel. Artinya, dengan peningkatan konsumsi domestik untuk biodiesel, Kemendag memiliki peran yang besar dalam mengatur siklus perdagangannya. Ini termasuk juga terkait dengan mencari solusi untuk menjawab berbagai tantangan teknis yang terkait dengan penerapan biodiesel.

8 Menteri Perhubungan Mendorong peningkatan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain di sektor transportasi.
Konteks saat ini:

Sebagai regulator utama di sektor transportasi, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengatur kegiatan operasi serta menerbitkan perizinan terhadap seluruh pelaku usaha transportasi. Bentuk dukungan yang tengah direncanakan saat ini adalah menerbitkan peraturan terkait kewajiban pemanfaatan B20 untuk berbagai operator moda transportasi termasuk diantaranya operator bus, truk, serta kapal penyeberangan.[20] Dalam konteks hari ini, pada dasarnya Kemenhub bisa berkordinasi dengan Kemendag dalam menyiapkan skenario yang tersistem untuk menyikapi berbagai tantangan dari pemanfaatan biodiesel yang ditemui oleh pelaku transportasi Indonesia.

9 Menteri Negara Riset dan Teknologi Mengembangkan teknologi, memberikan saran aplikasi pemanfaatan teknologi penyediaan dan pengolahan, distribusi bahan baku serta pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.
Konteks saat ini:

Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) melakukan berbagai studi/kajian terkait aspek teknis pelaksanaan program biodiesel. Beberapa kajian terkini yang tengah dilakukan antara lain meliputi pemanfaatan jenis-jenis feedstock lain selain kelapa sawit di tingkat hulu serta penyesuaian teknis untuk pemanfaatan biodiesel pada sektor industri ataupun jenis transportasi di mana biodiesel belum banyak digunakan misalnya angkutan penerbangan.[21] Dalam konteks hari ini, Kemenristekdikti seharusnya bisa menjadi tulang punggung dalam menyokong industri biodiesel dari sisi pengembangan di masa yang akan datang. Misalnya pengembangan konsep biodiesel generasi ke 2 dan ke 3 di Indonesia. Ini juga akan membantu Kementerian lain (Kehutanan, Pertanian, ESDM, Perdagangan dan Transportasi) dalam melihat perkembangan teknologi yang ada. Sehingga dapat menyesuaikan kebijakan yang nantinya akan diambil.

10 Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Membantu dan mendorong koperasi dan usaha kecil dan menengah untuk berpartisipasi dalam pengembangan tanaman bahan baku bahan bakar nabati (biofuel) serta pengolahan dan perniagaan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.
Konteks saat ini:

Kementerian Koperasi (Kemenkop) dan Usaha Kecil Menengah (UKM) saat ini tengah menyelenggarakan kegiatan peningkatan kapasitas terhadap petani kelapa sawit melalui program penguatan pengembangan Koperasi Unit Desa (KUD) di beberapa provinsi sentra produksi sawit nasional yang menjadi tulang punggung utama industri biodiesel. Kemenkop dan UKM juga melaksanakan program Kredit usaha Rakyat (KUR) yang bertujuan memberikan modal usaha bagi petani sawit swadaya dengan bunga pinjaman rendah yang diharapkan dapat mendorong produktivitas para petani sawit swadaya.[22] Untuk konteks hari ini, kementerian ini juga dapat melihat dan mengidentifikasi berbagai permasalahan kelembagaan di tingkat petani. Karena salah satu permasalahan utama yang dihadapi Pemerintah Daerah maupun lembaga keuangan dalam melakukan pembinaan petani adalah, tidak terlembaganya petani dengan baik. Skenario strategis dari Kementerian ini dapat menjadi panduan yang jelas bagi pemerintah daerah maupun sektor lain yang terkait.

11 Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
  • Mendorong BUMN bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan untuk mengembangkan tanaman bahan baku bahan bakar nabati (biofuel);
  • Mendorong BUMN bidang industri untuk mengembangkan industri pengolahan bahan bakar nabati (biofuel);
  • Mendorong BUMN bidang rekayasa untuk mengembangkan teknologi pengolahan bahan bakar nabati (biofuel);
  • Mendorong BUMN bidang energi untuk memanfaatkan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.
Konteks saat ini:

Sampai saat ini, belum ada BUMN yang bergerak khusus di bidang biodiesel. Semua BUBBN berasal dari sektor swasta. BUMN yang ada saat ini hanyalah untuk bahan baku biodiesel, yaitu PT Perkebunan Nusantara yang mengolah komoditas kelapa sawit (dan berbagai komoditas perkebunan lainnya). Di tahun 2018, tidak semua (dari 14 PTPN) berada dalam kondisi yang sehat. PT Perkebunan Nusantara XIII yang berlokasi di Kalimantan Barat menutup lima perkebunan kelapa sawit di pertengahan tahun 2018 akibat kinerja yang dinilai terus memburuk.[23]

Kementerian BUMN mengatur juga BUMN bidang energi seperti Pertamina sebagai BUBBM dan PLN sebagai konsumen dari biodiesel. Untuk Pertamina, Kementerian BUMN terlihat banyak mengkoordinir internal Pertamina seperti restrukturasi yang beberapa kali terjadi dalam satu tahun terakhir (2017-2018).[24]

PLN sebagai pengguna banyak mengalami kendala dalam penggunaan campuran biodiesel. Akhirnya, dalam kebijakan terbaru yaitu Perpres 66/2018, PLN merupakan salah satu yang dikecualikan dalam mandatori campuran biodiesel, selain Freeport dan penggunaan pada ALUTISTA.[25] Kementerian BUMN seharusnya dapat menjadi jembatan kepada kementerian lain (seperti Kementerian ESDM) untuk menyelesaikan permasalahan yang sudah lama dikeluhkan ini.

12 Menteri Dalam Negeri Mengkoordinasi dan memfasilitasi pemerintah daerah dan jajarannya serta menyiapkan masyarakat dalam penyediaan lahan di daerah masing-masing, terutama lahan kritis bagi budi daya bahan baku bahan bakar nabati (biofuel);
13 Menteri Keuangan Mengkaji peraturan perundang-undangan di bidang keuangan dalam rangka pemberian insentif dan keringanan fiskal untuk penyediaan bahan baku dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.
Konteks saat ini:

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memiliki fungsi membuat kebijakan pendukung fiskal untuk pengembangan biodiesel, terutama terkait insentif. Kemenkeu mengatur pembentukan BPDP-KS sebagai BLU pengelola dana pembiayaan sawit. Melalui Permen Keuangan 1/2015, Kemenkeu menetapkan struktur organisasi serta tata kerja BPDP-KS.[26] Selain itu Kemenkeu juga mengatur teknis pengelolaan dana pembiayaan sawit seperti alur pembayaran serta sistem pelaporan.

Sesuai dengan perkembangan terakhir terkait perluasan program mandatori B20 yang dituangkan pada Perpres 66/2018, Kemengkeu menjadi bagian dari komite pengarah dana pembiayaan sawit yang tugasnya menyusun kebijakan dalam penghimpunan dan penggunaan dana termasuk kebijakan pengelolaan dana untuk memperoleh nilai tambah secara berkelanjutan, serta menjadi titik utama dalam hal pengawasan atas pelaksanaan kebijakan penghimpunan dan penggunaan dana.[27] Melihat perkembangan yang terjadi, Kemenkeu bisa juga melakukan penyusunan desain bisnis yang akan dilakukan oleh BPDP-KS. Khususnya mengingat Indonesia saat ini lebih menggalakkan konsumsi pasar domestik.

14 Gubernur/Bupati/Walikota
  • Melaksanakan kebijakan untuk meningkatkan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain di daerahnya sesuai dengan kewenangannya;
  • Melaksanakan sosialisasi pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain di daerahnya;
  • Memfasilitasi penyediaan lahan di daerah masing-masing sesuai dengan kewenangannya terutama lahan kritis bagi budidaya bahan baku bahan bakar nabati (biofuel);
  • Melaporkan pelaksanaan instruksi ini kepada Menteri Dalam Negeri (untuk Gubernur) dan kepada Gubernur (untuk Bupati/Walikota).
Konteks saat ini:

Peran pemerintah daerah meliputi gubernur dan bupati/walikota terhadap program biodiesel adalah menerbitkan peraturan implementatif untuk mendukung pelaksanaan program B20. Bentuk utama peran pemerintah daerah terhadap program biodiesel adalah pemberian izin pembangunan infrastruktur di daerah antara lain untuk pembangunan pabrik CPO maupun pembangunan pabrik pengolahan biodiesel. Selain itu kepala daerah dapat menerbitkan rekomendasi bagi angkutan umum daerah untuk menggunakan biodiesel sebagai bahan bakar. Terakhir, pemerintah daerah melaksanakan kegiatan sosialisasi terhadap masyarakat untuk meningkatkan kesadartahuan mereka terhadap program biodiesel nasional.

Selain tugas tersebut, Pemerintah Daerah juga pada dasarnya bisa berkoordinasi dengan Kemendagri untuk mempersiapkan lahan yang akan diperuntukan bagi industri bahan baku biodiesel. Sehingga penyediaan lahan yang akan dilakukan oleh Pemerintah daerah dilakukan berdasarkan perencanaan yang matang.

Sayangnya, pemerintah daerah belum semua bisa berperan dengan efektif sesuai yang direncanakan. Menurut wawancara oleh CIFOR, pemerintah daerah masih memandang biodiesel adalah ranah kebijakan energi dari pemerintah pusat.[28] Dalam laporan yang sama, CIFOR menyarankan pemerintah provinsi dapat membuat peraturan di tingkat daerah yang dapat mendorong perusahaan pengolah minyak kelapa sawit kecil untuk mengembangkan biodiesel melalui penyediaan sejumlah insentif.

Dari tabel perbandingan relasi aktor pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan biodiesel tersebut, kita dapat memahami bahwa beberapa di antaranya hingga hari ini masih relevan. Walaupun juga terdapat beberapa catatan yang perlu untuk dipertimbangkan dalam kerangka menguatkan posisi kebijakan biodiesel sebagai isu strategis nasional. Perencanaan, koordinasi, pelaksanaan dan evaluasi terlihat masih bisa ditingkatkan dengan memaksimalkan peran-peran dari K/L yang terlibat selama ini.

Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS)

Dalam keseluruhan kerangka institusi yang terkait dengan industri Biodiesel, BPDP-KS memegang peranan yang sangat signifikan. Bahkan bisa dikatakan bahwa peningkatan produksi biodiesel Indonesia dipengaruhi oleh peran BPDP-KS. Sebagai lembaga penyalur dana, BPDP-KS pembentukannya dilandasi oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan. Berdasarkan peraturan ini, BPDP-KS menyalurkan dana yang dihimpun dari perusahaan-perusahaan perkebunan untuk:

  • Pengembangan sumber daya manusia perkebunan
  • Penelitian dan pengembangan perkebunan
  • Promosi perkebunan
  • Peremajaan perkebunan
  • Sarana dan prasarana perkebunan
  • Pengembangan Perkebunan
  • Pemenuhan hasil perkebunan untuk kebutuhan pangan, bahan bakar nabati (biofuel), dan hilirisasi industri perkebunan.

Peraturan Pemerintah ini dilengkapi dengan Peraturan Presiden No. 61/2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit yang kemudian diubah dengan Peraturan Presiden No. 24/2016. Perubahan penting yang perlu digarisbawahi adalah terkait penugasan pengukur tanah (surveyor) dalam hal verifikasi pembayaran pungutan dana sawit serta penghapusan klasifikasi jenis BBM Tertentu untuk pencampuran biodiesel, penyederhanaan sistem penentuan harga biodiesel, serta penambahan menteri anggota komite pengarah. Sebelumnya, regulasi serta penetapan harga terkait pencampuran biodiesel pada minyak solar hanya ditujukan untuk minyak solar bersubsidi (BBM jenis tertentu). Perubahan pada klasifikasi pencampuran serta sistem penetapan harga memberikan kepastian bahwa Badan Usaha BBN dapat menerima penggantian selisih harga apabila mereka melakukan pencampuran biodiesel dengan seluruh jenis minyak solar, tidak hanya jenis minyak solar yang bersubsidi. Sementara itu, penambahan Menteri BUMN serta Menteri Bappenas sebagai anggota komite pengarah dimaksudkan untuk memberikan fungsi kontrol yang lebih luas kepada pemerintah dalam hal penyelenggaraan dana pembiayaan sawit sebagai suatu instrumen yang penting bagi peyelenggaraan industri kelapa sawit nasional yang sifatnya lintas sektor.

Menurut peraturan ini, penggunaan dana untuk kepentingan penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati jenis biodiesel dimaksudkan untuk menutup selisih kurang antara harga indeks pasar bahan bakar minyak jenis minyak solar dengan harga indeks pasar bahan bakar nabati jenis biodiesel. Besaran dana untuk kepentingan penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati jenis biodiesel, diberikan kepada badan usaha bahan bakar nabati jenis biodiesel, setelah dilakukan verifikasi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.[29] Dalam perkembangannya, penutupan selisih harga yang tadinya hanya diperuntukan bagi pemenuhan mandatori biodiesel untuk sektor PSO, lalu diperluas untuk non-PSO. Perkembangan ini dituangkan melalui Peraturan Presiden No. 66 Tahun 2018. Poin utama yang tertuang dalam Peraturan Presiden ini adalah terkait perluasan insentif dana pembiayaan sawit di mana sekarang ini badan usaha BBN dapat menerima pembayaran selisih kurang harga minyak solar dan biodiesel untuk pencampuran dengan seluruh jenis minyak solar di pasar, baik yang bersubsidi (PSO) maupun yang non-subsidi (non-PSO). Terakhir, peraturan in juga menegaskan bahwa indeks harga pasar biodiesel ditetapkan oleh Kementerian ESDM dan harga tersebut berlaku untuk seluruh BUBBN yang memasok B100.

Perkembangan yang terjadi melalui perluasan insentif ekonomi dari BPDP-KS tersebut cukup signifikan dalam dinamika perkembangan industri biodiesel. Karena pasar akan semakin terbuka, dan putaran ekonomi pada industri hulu juga akan berputar dengan lebih baik. Sehingga peran BPDP-KS, secara tidak langsung juga menopang pembentukan pasar domestik biodiesel.

Terkait besaran pungutan, semakin tinggi tingkatan pengolahan yang diterapkan kepada produk sawit maka akan semakin kecil nilai pungutan ekspor yang dikenakan. Untuk produk olahan kelapa sawit yang sifatnya mentah (crude) seperti CPO, Crude Kernel Oil, serta Crude Palm Oiln akan dikenakan biaya pungutan ekspor sebesar $50 per ton. Sementara itu, untuk produk kelapa sawit yang telah melewati proses refinasi yang menyeluruh atau yang disebut juga dengan produk sawit RBD (Refined, Bleached, & Deodorized) dikenakan pungutan ekspor sebesar $30 per ton. Dana pungutan ekspor ini yang kemudian disalurkan BPDP-KS sebagai insentif. Secara lebih jelas, diagram alir di bawah menggambarkan jalur permintaan dan penyaluran dana sawit untuk program B20.

Gambar Diagram Alir Jalur Dana Sawit
Gambar Diagram Alir Jalur Dana Sawit

Dari diagram alur di atas, terlihat bahwa ada beberapa pihak kunci yang terlibat dalam skema pembiayaan BPDP-KS untuk program B20 selain BPDP-KS sebagai pengelola dana, di antaranya yaitu Kementerian ESDM, produsen BUBBN, serta pihak penyalur BUBBM yaitu PT Pertamina serta PT AKR Corporindo.

Pihak BUBBN sebagai produsen biodiesel mengajukan permohonan dana pembiayaan biodiesel kepada BPDP-KS atas dasar jumlah volume biodiesel yang telah mereka salurkan kepada penyalur BUBBM (Pertamina atau AKR Corporindo). BPDP-KS kemudian menyampaikan permohonan tersebut kepada Kementerian ESDM sebagai regulator sektor energi. Selanjutnya, Kementerian ESDM melakukan verifikasi terlebih dahulu terkait realisasi volume biodiesel yang dicampurkan, jumlah tagihan, bulan transaksi, serta besaran ongkos angkut. Apabila diperlukan, Kementerian ESDM dapat juga menunjuk surveyor independen untuk melakukan verifikasi langsung di lapangan pada fasilitas pencampuran yang dimiliki oleh pihak BUBBM.

Setelah proses verifikasi selesai dilakukan, Kementerian ESDM akan menerbitkan hasil verifikasi sebagai dasar bagi BPDP-KS untuk mengeluarkan pembayaran dana bagi produsen biodiesel. Besaran pembiayaan ditentukan menurut selisih antara biaya produksi biodiesel per liter dengan harga pasar bahan bakar diesel per liter yang telah dibayarkan pihak BUBBM kepada produsen biodiesel pada saat pencampuran.

Meskipun penegasan penggunaan dana sawit dapat mendorong implementasi pemanfaatan biodiesel dalam pencampuran BBM, peraturan ini dianggap hanya menguntungkan beberapa pihak dan tidak menguntungkan petani sawit kecil. Akibatnya, peraturan ini digugat di Mahkamah Konstitusi.[30] Selain itu, keberadaan insentif ekonomi melalui BPDP-KS tidak dibarengi dengan sebuah exit strategy yang jelas. Artinya, hingga saat ini hampir semua pihak yang terlibat belum dapat memberikan jawaban yang pasti mengenai sampai kapan industri biodiesel akan terus tergantung pada keberadaan insentif ekonomi. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan yang dituangkan dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2017 juga menunjukan bahwa selama tahun 2015-2017, BPDP-KS belum sepenuhnya didukung dengan sistem pengendalian internal yang memadai dan belum sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan perihal pengelolaan pungutan dan penggunaan dana perkebunan kelapa sawit.[31] Disamping itu, BPDP-KS perlu untuk mulai memikirkan model usaha yang akan dilakukan guna memastikan keberlanjutan dari dana yang dikelolanya. Saat ini, dana untuk BPDP-KS masih bergantung sepenuhnya pada pungutan ekspor. Namun dengan peluang ekspor yang menurun, perlu untuk mulai memikirkan strategi lainnya.

Biodiesel dalam Tata Kelola Lahan

Lahan yang merupakan kawasan hutan, pada dasarnya tidak dapat dibangun perkebunan di atasnya, karena perkebunan bukan menjadi bagian dari kegiatan kehutanan. Pun demikian, Pasal 38 ayat (1), UU 41/1999 tentang Kehutanan menyatakan bahwa:

"Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung."

Artinya masih terdapat celah untuk melakukan pembangunan di luar kegiatan kehutanan pada hutan berfungsi produksi dan lindung. Ketentuan tersebut kemudian diatur oleh Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, di mana kegiatan perkebunan tidak termasuk di dalam pembangunan yang dapat dilakukan di atas kawasan hutan. Namun demikian, pada 28 Desember 2015 terdapat revisi terhadap peraturan tersebut. Pada revisinya, dinyatakan bahwa:

".. Kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
  1. ...
  2. ...
m. pertanian tertentu dalam rangka ketahanan pangan dan ketahanan energi."
(Pasal 4 ayat (2) huruf m)

Catatan kaki:

1. Presiden Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2005 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu. (kembali)
Presiden Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2005 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu.
2. Presiden Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. (kembali)
Presiden Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.
3. Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati, Blueprint 2006-2025: Pengembangan Bahan Bakar Nabati untuk Percepatan Pengurangan Kemiskinan dan Pengangguran, Jakarta: Tim Nasional Pengembangan BBN, 2006. (kembali)
Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati, Blueprint 2006-2025: Pengembangan Bahan Bakar Nabati untuk Percepatan Pengurangan Kemiskinan dan Pengangguran, Jakarta: Tim Nasional Pengembangan BBN, 2006.
4. Badan Pusat Statistika (BPS), "Tabel Impor Minyak Bumi dan Gas 2000-2015" [diakses 17 Agustus 2018]. (kembali)
Badan Pusat Statistika (BPS), "Tabel Impor Minyak Bumi dan Gas 2000-2015" [diakses 17 Agustus 2018].
5.  Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. (kembali)
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.
6. Presiden Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2005 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu. (kembali)
Presiden Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2005 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu.
7. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. (kembali)
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.
8. Nuzul Hijri Darlan, Iput Pradiko, Winarna dan Hasril H. Siregar., “Dampak El Nino 2015 terhadap Performa Tanaman Kelapa Sawit di Bagian Selatan Sumatera”, Jurnal Tanah dan Iklim, 40(2), 2016, h. 113-120. (kembali)
Nuzul Hijri Darlan, Iput Pradiko, Winarna dan Hasril H. Siregar., “Dampak El Nino 2015 terhadap Performa Tanaman Kelapa Sawit di Bagian Selatan Sumatera”, Jurnal Tanah dan Iklim, 40(2), 2016, h. 113-120.
9. Presiden Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit. (kembali)
Presiden Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
10. Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945, pasal 33 ayat (2). (kembali)
Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945, pasal 33 ayat (2).
11. Safyra Primadhyta, "Mayoritas Daerah Belum Rampungkan Rencana Umum Energi Daerah" [diakses 7 September 2018]. (kembali)
Safyra Primadhyta, "Mayoritas Daerah Belum Rampungkan Rencana Umum Energi Daerah" [diakses 7 September 2018].
12. Menteri Pertanian Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 21/Permentan/KB.410/6/2017 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. (kembali)
Menteri Pertanian Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 21/Permentan/KB.410/6/2017 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
13. Feby Ivalerina Kartikasari, Maret Priyatna, Dewi Tresya dan Wulan Kusumawardhani, Perizinan Terpadu untuk Perbaikan Tata Kelola Hutan di Indonesia: Studi Kasus Kalimantan Tengah, Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2012, h. 34. (kembali)
Feby Ivalerina Kartikasari, Maret Priyatna, Dewi Tresya dan Wulan Kusumawardhani, Perizinan Terpadu untuk Perbaikan Tata Kelola Hutan di Indonesia: Studi Kasus Kalimantan Tengah, Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2012, h. 34.
14. Ibid. (kembali)
Ibid.
15. Direktur Jenderal Perkebunan, Keputusan Direktur Jenderal Perkebunan Nomor: 29/KPTS/KB.120/3/2017 tentang Pedoman Peremajaan Tanaman Kelapa Sawit Pekebun, Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Bantuan Sarana dan Prasarana Dalam Kerangka Pendanaan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, Bab 1 dan Lampiran. (kembali)
Direktur Jenderal Perkebunan, Keputusan Direktur Jenderal Perkebunan Nomor: 29/KPTS/KB.120/3/2017 tentang Pedoman Peremajaan Tanaman Kelapa Sawit Pekebun, Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Bantuan Sarana dan Prasarana Dalam Kerangka Pendanaan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, Bab 1 dan Lampiran.
16. Syahrizal Sidik, "Menteri Airlangga Klaim Sektor Industri Siap Gunakan Bahan Bakar Biodiesel 20" [diakses 10 September 2018]. (kembali)
17. Kementrian Perindustrian, "Produksi CPO Akan Capai 42 Juta Ton, Kemenperin Pacu Industri Hilir" [diakses 10 September 2018]. (kembali)
Kementrian Perindustrian, "Produksi CPO Akan Capai 42 Juta Ton, Kemenperin Pacu Industri Hilir" [diakses 10 September 2018].
18. Achmad Fauzi, "Sengketa Biodiesel dengan Uni Eropa, Indonesia Akhirnya Menang" [diakses 10 September 2018]. (kembali)
Achmad Fauzi, "Sengketa Biodiesel dengan Uni Eropa, Indonesia Akhirnya Menang" [diakses 10 September 2018].
19. Yoga Hastyadi Widiartanto, "China dan jepang Minati Biodiesel Indonesia" [diakses 10 September 2018]. (kembali)
Yoga Hastyadi Widiartanto, "China dan jepang Minati Biodiesel Indonesia" [diakses 10 September 2018].
20. Ridwan Aji Pitoko, "Kemenhub Dorong Penggunaan Biodiesel di Seluruh Angkutan Darat dan Penyebrangan" [diakses 10 September 2018]. (kembali)
21. Dika Irawan, "Kemenristekdikti Gandeng Dua Kementerian Teliti Aviation Biofuel" [diakses 10 September 2018]. (kembali)
Dika Irawan, "Kemenristekdikti Gandeng Dua Kementerian Teliti Aviation Biofuel" [diakses 10 September 2018].
22. Dinas KUKM Jawa Barat, "Kemenkop dan UKM Perkuat Kelembagaan KUD Sawit" [diakses 10 September 2018]. (kembali)
Dinas KUKM Jawa Barat, "Kemenkop dan UKM Perkuat Kelembagaan KUD Sawit" [diakses 10 September 2018].
23. Yohanes Kurnia Irawan, "PTPN XIII Berhenti Beroperasi Untuk Sementara" [diakses 10 September 2018]. (kembali)
Yohanes Kurnia Irawan, "PTPN XIII Berhenti Beroperasi Untuk Sementara" [diakses 10 September 2018].
24. Muchamad Nafi, "Akhir Kisah Elia Massa Manik di Pertamina" [diakses 10 September 2018]. (kembali)
Muchamad Nafi, "Akhir Kisah Elia Massa Manik di Pertamina" [diakses 10 September 2018].
25. Puti Aini Yasmin, "Alutsista hingga Freeport Tak Wajib Pakai Biodiesel 20%" [diakses 10 September 2018]. (kembali)
Puti Aini Yasmin, "Alutsista hingga Freeport Tak Wajib Pakai Biodiesel 20%" [diakses 10 September 2018].
26. Menteri Keuangan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113/PMK-01/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. (kembali)
Menteri Keuangan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113/PMK-01/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
27. Hendra Kusuma, "Pemerintah Resmi Perluas Program Biodiesel" [diakses 10 September 2018]. (kembali)
Hendra Kusuma, "Pemerintah Resmi Perluas Program Biodiesel" [diakses 10 September 2018].
28. Arya Hadi Dharmawan, Nuva, Sudaryanti DA, Prameswari AA, Amalia R dan Dermawan A, "Pengembangan bioenergi di Indonesia: Peluang dan tantangan kebijakan industri biodiesel.", Working Paper 242, Bogor, Indonesia: Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), 2018. (kembali)
Arya Hadi Dharmawan, Nuva, Sudaryanti DA, Prameswari AA, Amalia R dan Dermawan A, "Pengembangan bioenergi di Indonesia: Peluang dan tantangan kebijakan industri biodiesel.", Working Paper 242, Bogor, Indonesia: Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), 2018.
29. Presiden Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit, pasal 18. (kembali)
Presiden Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit, pasal 18.
30. M Razi Rahman, "Penghimpunan Dana Perkebunan Harus Dicabut" [diakses 25 Agustus 2018]. (kembali)
M Razi Rahman, "Penghimpunan Dana Perkebunan Harus Dicabut" [diakses 25 Agustus 2018].
31. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2017, Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia, 2018. (kembali)
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2017, Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia, 2018.