Penawaran dan Permintaan

Gambar Pabrik Sawit di Kabupaten Langsat (Foto: Yudi - Auriga Nusantara)
Gambar Pabrik Sawit di Kabupaten Langsat (Foto: Yudi - Auriga Nusantara)

Indonesia termasuk dalam lima besar negara produsen biodiesel di dunia setelah Amerika Serikat, Brazil, Jerman, dan Argentina. Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BUBBN) tersebar di beberapa titik di Indonesia dengan total kapasitas kilang sebesar 12 juta kl. Hal ini sangat memungkinkan bagi Indonesia untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri dan berdaulat energi.

 

Indonesia termasuk dalam lima besar negara produsen biodiesel di dunia setelah Amerika Serikat, Brazil, Jerman, dan Argentina. Pada tahun 2017, Indonesia memproduksi 2,5 juta kl biodiesel (B100) yang mampu memenuhi 26,5% permintaan biodiesel (B100) dunia sebesar 9,4 juta kl.[1] Hingga awal 2018, Indonesia memiliki total kapasitas produksi hingga 12,06 juta kl biodiesel. Kapasitas ini tersebar di pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Kapasitas terbesar berada di Sumatera yaitu 7,3 juta kl. Namun, dari total tersebut, kapasitas yang telah terpakai hanya mencapai 28,32% pada 2017.

Gambar Peta Sebaran Pabrik Biodiesel dan Terminal BBM Pertamina tahun 2016
Gambar Peta Sebaran Pabrik Biodiesel dan Terminal BBM Pertamina tahun 2016[2]

Berdasarkan sebaran dari produsen biodiesel di Indonesia. Terlihat bahwa belum nampak adanya aglomerasi industri yang merata pada setiap sentra-sentra wilayah perkebunan besar di Indonesia. Hal ini didasari bahwa, industri biodiesel dari awal memang dirancang untuk memenuhi pasar impor, bukan pasar dalam negeri. Sementara dari data di atas, bahwa Pulau Sumatera saat ini memiliki lebih dari 60% kapasitas produksi nasional. Terdapat delapan produsen biodiesel dari Pulau Sumatera di tahun 2016, sedangkan Kalimantan hanya terdapat satu produsen biodiesel. Bila ditinjau dari potensi perkebunannya, Pulau Kalimantan tidak kalah potensial. Maka seharusnya, pengembangan industri pengolahan biodiesel tidak hanya berpusat di Sumatera, terutama Provinsi Riau. Belum meratanya sebaran produsen biodiesel ini akan membuat tidak efisiennya biaya transportasi yang diperlukan untuk mengirimkan kebutuhan FAME ke berbagai pelosok di Indonesia.

Secara umum, Indonesia mencatat tren pertumbuhan positif dalam produksi biodiesel. Bahkan, jika melihat beberapa tahun ke belakang, pertumbuhan produksi biodiesel di Indonesia ini mencapai 65% dalam kurun waktu 2005 hingga 2015. Faktor pendorong peningkatan produksi ini dapat dikategorikan dalam dua fase, yaitu periode sebelum 2014 dan setelah 2014.

Menurut data dari Palm oil Agribussines Strategic Policy Institute (PASPI) yang disesuaikan dengan data terbaru dari Kementerian ESDM, dapat dilihat perbandingan target dan realisasi penyerapan biodiesel dari tahun 2009 sampai 2017.[3]

Tabel Realisasi Campuran Biodiesel di Sektor Transportasi PSO
Tahun Target Bauran (%) [4] Konsumsi Solar (Ribu kL) [5] Konsumsi Biodiesel (Ribu kL)[6] Porsi Biodiesel Terhadap Solar Nasional Capaian terhadap Target Bauran Nasional
2009 1% 19.828 119 0,60% 60%
2010 2,5% 22.895 223 0,97% 39,0%
2011 2,5% 26.150 359 1,37% 54,9%
2012 2,5% 29.528 669 2,27% 90,6%
2013 10% 28.649 1.048 3,66% 36,6%
2014 10% 27.220 1.845 6,78% 67,8%
2015 15% 25.433 915 3,60% 24,0%
2016 20% 27.404 3.008 10,98% 54,9%
2017 20% 28.186 2.572 8,4% 41,8%

Distribusi dan Pencampuran/Badan Usaha Bahan Bakar Minyak (BUBBM)

Dalam konteks distribusi dan pencampuran, perannya dimainkan oleh BUBBM. Pengaturan mengenai BUBBM terbagi antara pemenuhan distribusi dan pencampuran untuk PSO dan Non-PSO. Untuk Non-PSO terdapat 11 perusahaan BUBBM yang mendapatkan izin dari Kementerian ESDM, yaitu PT Exxonmobil, PT Petro Andalan Nusantara, PT Pertamina, PT AKR Corporindo, PT Jasatama, PT Shell Indonesia, PT Cosmic Indonesia, PT Cosmic Petroleum Nusantara, PT Energi Coal Prima, PT Petro Energy, dan PT Gasemas. Sedangkan untuk penyaluran dan pencampuran biodiesel PSO hanya dua perusahaan BUBBN yang mendapatkan izin, yaitu PT Pertamina dan PT AKR Corporindo. Sebelas perusahaan tersebut mendapatkan izin untuk mendistribusikan biodiesel karena telah mengajukan permohonan atau ditunjuk langsung oleh kementerian ESDM seperti yang sudah diatur dalam Pasal 14 Permen ESDM Nomor 32 Tahun 2008 (Permen ESDM 32/2008) tentang Penyediaan, Pemanfaatan Dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain dan Pasal 8 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian Dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.

Perbedaan alokasi untuk BUBBM di atas dapat dilihat pada kedua grafik di bawah. Untuk kebutuhan PSO periode September sampai Desember 2018, total alokasi mencapai 940 ribu kl.[7] Untuk PSO, alokasi terbaru diatur oleh Kepmen ESDM 1935/2018 dengan total alokasi sebesar 1,9 juta kl untuk periode Mei sampai Oktober 2018.[8] PT Pertamina mendapatkan alokasi yang jauh lebih banyak dibandingkan semua BUBBM yang lain. Hal ini dapat dipengaruhi dengan kesiapan infrastruktur PT Pertamina yang dinilai lebih besar dibandingkan yang lain.

Grafik Alokasi Biodiesel untuk BUBBM di Sektor Non-PSO
Grafik Alokasi Biodiesel untuk BUBBM di Sektor Non-PSO.
Grafik Alokasi Biodiesel untuk BUBBM di Sektor PSO
Grafik Alokasi Biodiesel untuk BUBBM di Sektor PSO.

Sebagai distributor, BUBBM akan mendapatkan pasokan biodiesel dari BUBBN yang sudah memiliki izin, dan kedua perusahaan tersebut memiliki kewajiban:[9]

  1. menjamin dan bertanggung jawab sampai ke tingkat penyalur/Konsumen Akhir atas standar dan mutu Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain yang diniagakan sesuai standar dan mutu (spesifikasi) yang ditetapkan;
  2. menjamin harga jual Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain pada tingkat yang wajar;
  3. menjamin penyediaan fasilitas dan sarana Kegiatan Usaha Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain yang memadai;
  4. menjamin dan bertanggung jawab atas penggunaan peralatan, keakuratan dan sistem alat ukur yang digunakan yang memenuhi standar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  5. mempunyai dan menggunakan nama dan merek dagang tertentu Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain untuk eceran;
  6. mengutamakan pemenuhan kebutuhan dalam negeri;
  7. menyampaikan laporan kepada Direktur Jenderal mengenai pelaksanaan Kegiatan Usaha Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain termasuk harga jual Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain setiap 3 (tiga) bulan sekali atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.

Selain melakukan kegiatan jual beli, perusahaan yang memiliki izin niaga biodiesel juga dapat melaksanakan kegiatan ekspor dan impor biodiesel dengan mengajukan izin terlebih dahulu kepada menteri ESDM. Kegiatan ekspor dan impor juga harus mempertimbangkan keadaan biodiesel dalam negeri baik pasokannya maupun harganya.

Untuk sektor PSO, izin distribusi biodiesel hanya diberikan kepada PT Pertamina dan PT AKR Corporindo. Hal ini dikarenakan dalam Perpres Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM, PT Pertamina sudah ditunjuk secara langsung:

“Terminal BBM Depot/Penyalur adalah tempat penimbunan dan penyaluran BBM yang dimiliki atau dikuasai PT Pertamina (Persero) dan/atau badan usaha lainnya yang mendapat penugasan Penyediaan dan Pendistribusian Jenis BBM Tertentu.”
pasal 1 nomor 4

Sedangkan AKR Corporindo juga mendapatkan izin distribusi karena telah mengikuti proses seleksi Pelaksana Penyediaan dan Pendistribusian Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu (P3JBT) untuk tahun 2018 sampai 2022. Sedangkan 11 badan usaha yang mengambil dokumen untuk penugasan P3JBT, hanya AKR yang memasukan dokumen dan melalui proses seleksi P3JBT. Setelah melalui serangkaian proses penilaian dan evaluasi, melalui sidang komite, BPH Migas menetapkan AKR Corporindo sebagai badan usaha pelaksana penugasan penyediaan dan pendistribusian jenis BBM tertentu dari 2018 sampai 2022.

Proyeksi Permintaan Biodiesel Indonesia

Terdapat dua proyeksi yang digunakan sebagai acuan yaitu perhitungan di Indonesia Energy Outlook yang dipublikasikan BPPT serta perhitungan oleh Dewan Energi Nasional (DEN). Menurut perhitungan BPPT, permintaan untuk biodiesel di transportasi dan sektor industri diperkirakan akan meningkat sebesar 9,4% per tahun yang berarti konsumsi bahan bakar di Indonesia akan bertambah sebesar 4,9% secara rata-rata pada tahun 2015 sampai tahun 2025.[10] Pada tahap ini, konsumsi diesel di tahun 2025 meningkat sebesar 42 juta kl, terlihat seperti pada gambar grafik konsumsi bahan bakar di bawah ini. Adanya perlambatan ekonomi pada tahun 2015 menyebabkan konsumsi solar menurun, hal ini membuat kegiatan industri yang mengkonsumsi solar juga mengalami penurunan.[11]

Gambar Konsumsi Bahan Bakar di Indonesia
Gambar Konsumsi Bahan Bakar di Indonesia

Sejalan dengan BPPT, pada dokumen outlook yang dipublikasikan DEN, terdapat tiga skenario peningkatan konsumsi BBM sampai dengan 2025 dan 2050 yaitu skenario Business as Usual (BAU), alternatif 1, dan alternatif 2. Perbedaan antara skenario dapat dilihat dari pertumbuhan penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) yang lebih optimis di alternatif 1 dan 2. Penggunaan EBT yang lebih besar mengurangi tingkat konsumsi BBM yang terlihat lebih kecil pada dua skenario tersebut.

Gambar Proyeksi Penyediaan Energi Primer 2025&2050
Gambar Proyeksi Penyediaan Energi Primer 2025 & 2050[12]

Berdasarkan data tersebut, diprediksi akan terjadi peningkatan konsumsi BBM sampai dengan 2025 dan 2050, walaupun nilai pertumbuhannya akan dipengaruhi oleh laju pertumbuhan penggunaan EBT. Meski begitu, kenaikan konsumsi BBM yang diproyeksikan tersebut tetap menjadi pasar yang menarik bagi industri biodiesel ke depannya. Berdasarkan skenario-skenario yang ada, proyeksi yang paling memungkinkan adalah pertumbuhan konsumsi BBM sebesar kurang lebih 3%. Hingga saat ini, penerapan mandatori B20 paling banyak pada sektor PSO. Upaya perluasan yang dilakukan mulai 1 September 2018 hingga laporan ini ditulis belum terpenuhi seluruhnya karena beberapa faktor penyesuaian regulasi serta teknis yang masih menghambat. Pemerintah menargetkan peningkatan jumlah konsumsi biodiesel dari 2,68 juta kl pada tahun 2017 menjadi sekitar 3,5 juta kl di tahun 2018, tambahan sekitar 700.000 kl pada sektor Non PSO.[13] Program mandatori B20 yang belum terlaksana dalam semua sektor membuat bauran biodiesel 20 persen hanya memiliki blending rate sekitar 8-9% dengan total konsumsi solar beberapa tahun terakhir di Indonesia.

Berdasarkan data konsumsi kebutuhan solar PSO Pertamina per tahun mencapai sekitar 15-17 juta kl.[14] Dengan asumsi demikian, kebutuhan biodiesel khusus ke sektor PSO berada pada kisaran seperlima jumlah tersebut, atau mencapai 3-3,5 juta kl per tahun dalam bauran B20. Hal ini sejalan dengan rencana ESDM untuk menaikan alokasi biodiesel di tahun 2018 menjadi 3,5 juta kl. Perluasan penerapan kebijakan B20 didukung dengan Perpres Nomor 66 Tahun 2018, di mana pemerintah mengarahkan dana insentif kelapa sawit melalui BPDP demi memperluas cakupan insentif ekonomi sehingga sektor non PSO juga mendapatkan skema insentif ini. Bila melihat gambar 12, sejak BPDP dibentuk di tahun 2015, performa ketercapaian mandatori biodiesel di seluruh sektor belum bisa dilaksanakan. Perluasan penggunaan pemanfaatan dana insentif tersebut akan mendongkrak performa mandatori biodiesel sebesar 1 juta kl.[15]

Gambar Konsumsi dan Proyeksi Bahan Bakar di Indonesia
Gambar Konsumsi dan Proyeksi Bahan Bakar di Indonesia

Grafik di atas menunjukan tren konsumsi dan proyeksi kebutuhan minyak diesel di Indonesia. Diesel merupakan jenis bahan bakar minyak solar. Grafik yang berwarna biru menunjukan tren konsumsi dari tahun 2008 hingga 2017 sedangkan pada tahun 2018-2025 merupakan proyeksi konsumsi kebutuhan solar berdasarkan laju pertumbuhan 4% (DEN). Grafik berwarna merah merupakan realisasi produksi biodiesel nasional, sejak tahun 2009 terus menunjukkan tren yang meningkat hingga tahun 2017 (2,6 juta kl). Namun, jika melihat pelaksanaan Mandatori Biodiesel (lihat grafik oranye) sejak tahun 2009, di mana mandatori biodiesel merupakan Angka blending yang seharusnya diterapkan berdasarkan kewajiban di semua sektor, maka terdapat jarak yang cukup jauh antara implementasi dan mandatori berdasarkan peraturan yang ada. Hal tersebut terjadi karena berbagai faktor, seperti hambatan teknis dan kendala pada perluasan pemanfaatan biodiesel itu sendiri. Alasan yang membuat mandatori terlihat tidak pernah memenuhi target lantaran hingga bulan Agustus tahun 2018, konsumsi biodiesel baru dilaksanakan pada transportasi PSO. Sehingga selama ini Biodiesel di sektor Non PSO sangat sedikit porsi implementasinya di tahun-tahun sebelumnya.

Dari gambaran tersebut di atas, kita dapat mulai melihat proyeksi kebutuhan biodiesel di Indonesia. Sehingga kita dapat melihat faktor kebutuhan bahan baku sesuai dengan produktivitas di Indonesia, dan berapa luas lahan yang diperlukan untuk memenuhi permintaan biodiesel sesuai dengan mandatori pemerintah. Untuk melihat hal tersebut, terdapat beberapa asumsi berdasarkan data produktivitas dan permintaan minyak solar beberapa tahun terakhir.

Tabel Proyeksi Kebutuhan, Permintaan dan Ketersediaan Biodiesel
Keterangan 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025
Biodiesel B100 (Juta KL) 0,82 2,80 2,60 4,10 6,19 9,66 10,05 10,45 10,87 11,30 11,75
CPO (Juta ton) 0,74 2,61 2,22 3,69 5,57 8,69 9,04 9,40 9,78 10,17 10,58
Luas Lahan (Juta ha) 0,26 0,90 0,84 1,31 1,99 3,11 3,23 3,36 3,49 3,63 3,78
                       

Tabel di atas menggunakan beberapa sumber informasi, untuk kebutuhan B100 digunakan data dari proyeksi Kementerian ESDM dan data proyeksi kebutuhan minyak bumi sebesar rata-rata 4% yang dikeluarkan oleh DEN. Sedangkan data konversi CPO menjadi biodiesel menggunakan perhitungan rata-rata yang dilakukan oleh Wilmar, bahwa setiap rata-rata 1 liter biodiesel setara dengan 90% atau 0,9 Kg CPO.[16] Sedangkan proyeksi kebutuhan lahan untuk menghasilkan CPO dilihat dari produktivitas rata-rata nasional pada 1 dekade terakhir yaitu 2,8 ton/ha. Rata-rata tersebut didasarkan pada data statistik produksi CPO yang diterbitkan oleh Kementerian Pertanian.

Dengan melihat proyeksi tersebut, maka untuk mencapai target blending 2025 di semua sektor dibutuhkan 11,75 juta kl, atau setara dengan 10,58 juta ton CPO. Proyeksi ini cukup linier dengan yang ditemukan oleh D. Khatiwada (2018), bahwa di tahun 2025 ada proyeksi 12,2 juta kl biodiesel yang dibutuhkan Indonesia bila mandatori biodiesel dijalankan.[17] Proyeksi lainnya yang juga cukup mirip berasal dari RUEN, di mana di dalam Perpres 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional, biodiesel di tahun 2025 ditargetkan mencapai 11,6 juta kl.[18]

Dengan proyeksi yang demikian, maka jumlah CPO yang diperlukan untuk menjadi B100 di tahun 2025 mencapai 10,58 juta ton. Di mana diperlukan tambahan luas lahan sebesar besaran luasan lahan ini cukup mirip dengan kebutuhan lahan yang dialokasikan RUEN dalam penyediaan lahan khusus untuk kebun energi, yaitu 4 juta ha. Hitungan ini kemudian perlu juga untuk dikaitkan dengan kebutuhan komoditas kelapa sawit untuk pangan. Pertumbuhan penduduk di Indonesia diproyeksikan mencapai 285 juta jiwa di tahun 2025 menurut prakiraan World Bank, dengan tingkat pertumbuhan 1,1%. Dengan asumsi tersebut, maka pertumbuhan pangan per kapita kemungkinan akan menyesuaikan dengan pertumbuhan penduduk dengan tingkat pertumbuhan yang serupa. Dengan melihat kondisi tersebut, kami mencoba untuk melakukan proyeksi permintaan CPO terkait dengan kebutuhan lain (makanan, ekspor dan industri lainnya).

Tabel Proyeksi permintaan CPO di Indonesia
Kebutuhan (CPO) (Juta KL) 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025
Makanan[19] 7,8 8,1 8,2 8,3 8,4 8,5 8,6 8,7 8,8 8,9
Industri[20] 0,6 0,7 0,7 0,8 0,8 0,8 0,9 0,9 0,9 1,0
Biodiesel 2,6 2,2 3,69 5,57 8,69 9,04 9,40 9,78 10,17 10,58
Ekspor[21] 26,6 32,2 32,7 33,2 33,8 34,3 34,9 35,5 35,5 36,0

Sumber: Data Olahan dari berbagai sumber: Makanan (menyesuaikan tingkat pertumbuhan penduduk 1,1% World Bank), Industri (Pertumbuhan Market Oleochemical 5,1%) – Oleochemical Market, Ekspor (Persentase Pertumbuhan Ekspor CPO Indonesia 1,63% - Gapki)

Dengan mengetahui proyeksi permintaan CPO terhadap biodiesel di tahun 2025, berdasarkan asumsi tingkat pertumbuhan dari BPPT dan DEN, jumlah tersebut hanya bisa dicapai bila pemerintah menjalankan mandatori program biodiesel di semua sektor. Terlepas dari hal tersebut, industri lain seperti kosmetik dan Oleochemical lainnya memiliki tekanan yang cukup besar terhadap permintaan CPO di Indonesia. Dengan tingkat pertumbuhan mencapai 5,1% maka di tahun 2025 Industri ini diperkirakan akan memiliki tambahan permintaan sebanyak 1 juta ton. Di samping itu, ekspor minyak nabati Indonesia di pasar global yang terus meningkat, berdasarkan estimasi OCED-FAO, pada tahun 2024 Indonesia akan memenuhi 37% ekspor minyak nabati dunia. Permintaan minyak nabati dunia ini memiliki tingkat pertumbuhan sebesar 1,6% setiap tahunnya. Dengan data tersebut, proyeksi yang diperoleh pada tahun 2025, besarnya permintaan ekspor minyak nabati dari Indonesia akan bertambah sebanyak 36 juta ton.

Catatan kaki:

1. Chris Malins, Driving Deforestation: The Impact of Expanding Palm Oil demand Through Biofuel Policy, London: Cerulogy, 2018. (kembali)
2. Olahan dari wawancara dengan Direktorat Jenderal EBTKE – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tanggal 25 April 2018 (kembali)
Olahan dari wawancara dengan Direktorat Jenderal EBTKE – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tanggal 25 April 2018
3. Tim Riset Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), "Strategi dan Kebijakan Pengembangan Industri Hilir Minyak Sawit Indonesia", Jurnal Monitor, volume III, 2017, h. 780. (kembali)
Tim Riset Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), "Strategi dan Kebijakan Pengembangan Industri Hilir Minyak Sawit Indonesia", Jurnal Monitor, volume III, 2017, h. 780.
4. Berdasarkan Permen ESDM 32/2008, 25/2013, 20/2014, dan 12/2015. (kembali)
5. Thom Wright, Arif Rahmanulloh, "Indonesia Biofuels Annual Report 2017", Jakarta: USDA Foreign Agricultural Service, 2017. (kembali)
Thom Wright, Arif Rahmanulloh, "Indonesia Biofuels Annual Report 2017", Jakarta: USDA Foreign Agricultural Service, 2017.
6. Agus Cahyono Adi dkk., Handbook of Eenergy & Economic Statistics of Indonesia 2018, Jakarta: Kementrian ESDM, 2018, h. 105 (kembali)
Agus Cahyono Adi dkk., Handbook of Eenergy & Economic Statistics of Indonesia 2018, Jakarta: Kementrian ESDM, 2018, h. 105
7. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1936 K/10/MEM/2018 tentang Pengadaan Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel untuk Pencampuran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Periode September – Desember 2018. (kembali)
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1936 K/10/MEM/2018 tentang Pengadaan Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel untuk Pencampuran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Periode September – Desember 2018.
8. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1935/K/10/MEM/2018 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1803 K/10/MEM/2018 tentang Penetapan Badan Usaha Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel dan Alokasi Besaran Volume untuk Pengadaan Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel pada PT Pertamina (Persero) dan PT AKR Corporindo TBk Periode Mei – Oktober 2018. (kembali)
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1935/K/10/MEM/2018 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1803 K/10/MEM/2018 tentang Penetapan Badan Usaha Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel dan Alokasi Besaran Volume untuk Pengadaan Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel pada PT Pertamina (Persero) dan PT AKR Corporindo TBk Periode Mei – Oktober 2018.
9. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain, pasal 20. (kembali)
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain, pasal 20.
10. Agus Sugiyono, Anindhita, M Sidik Boedoyo dan Adiarso, Outlook Energi Indonesia 2014, Jakarta: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), 2014. (kembali)
Agus Sugiyono, Anindhita, M Sidik Boedoyo dan Adiarso, Outlook Energi Indonesia 2014, Jakarta: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), 2014.
11. Pebrianto Eko Wicaksono, "Ekonomi Lesu, Konsumsi BBM Turun" [diakses 25 Agustus 2018]. (kembali)
Pebrianto Eko Wicaksono, "Ekonomi Lesu, Konsumsi BBM Turun" [diakses 25 Agustus 2018].
12. Sekretaris Jederal Dewan Energi Nasional, Outlook Energi Indonesia 2016, Jakarta: Dewan Energi Nasional, 2016. (kembali)
Sekretaris Jederal Dewan Energi Nasional, Outlook Energi Indonesia 2016, Jakarta: Dewan Energi Nasional, 2016.
13. Humas EBTKE, "Pemerintah Bidik Sektor Pertambangan Untuk perluasan Implementasi Biodiesel" [diakses 26 Agustus 2018]. (kembali)
14. Katadata, "Berapa Konsumsi BBM Bersubsidi?" [diakses 26 Agustus 2018]. (kembali)
Katadata, "Berapa Konsumsi BBM Bersubsidi?" [diakses 26 Agustus 2018].
15. Humas EBTKE, "Pemerintah Bidik Sektor Pertambangan Untuk Perluasan Implementasi Biodiesel" [diakses 10 Juli 2018]. (kembali)
16. Hasil wawancara dengan PT Murini Sam Sam bagian Perkebunan (Wilmar Group) tanggal 13 Agustus 2018 (kembali)
Hasil wawancara dengan PT Murini Sam Sam bagian Perkebunan (Wilmar Group) tanggal 13 Agustus 2018
17. Dilip Khatiwada, Carl Palmén dan Semida Silveira, “Evaluating The Palm Oil Demand in Indonesia: Production Trends, Yields, and Emerging Issues”, Journals Biofuels, 2018. (kembali)
Dilip Khatiwada, Carl Palmén dan Semida Silveira, “Evaluating The Palm Oil Demand in Indonesia: Production Trends, Yields, and Emerging Issues”, Journals Biofuels, 2018.
18. Presiden Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional. (kembali)
Presiden Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional.
19. World Bank Group, "Population Estimates and Projections, World Bank Group" [diakses 10 Juli 2018]. (kembali)
World Bank Group, "Population Estimates and Projections, World Bank Group" [diakses 10 Juli 2018].
20. Tim Analis Markets and Markets, "Oleochemicals Market by Type (Fatty Acid, Fatty Alcohol, Glycerin, and Others), by Application (Pharmaceutical & personal care, Food & beverages, Soaps & detergents, Polymers, and Others), by Region (North America, Europe, Asia-Pacific, and Rest of the World) - Trends and Forecasts to 2019" [diakses 10 Juli 2018]. (kembali)
21. Tim Riset Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), "Proyeksi Vagetable Oil Dunia tahun 2025" [diakses 10 Juli 2018]. (kembali)
Tim Riset Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), "Proyeksi Vagetable Oil Dunia tahun 2025" [diakses 10 Juli 2018].