Aktor Utama dalam Industri Biodiesel

Aktor Peran Analisis Umum

Pemerintah Indonesia

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
  • Mengkoordinasikan persiapan pelaksanaan penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.

Hingga pada saat perluasan penerapan kebijakan biodiesel pada Agustus 2018, Menko Perekonomian masih berperan besar dalam mengkordinasikan K/L maupun pihak pelaku usaha. Selain itu, Kemenko Perekonomian juga menjadi koordinator dalam proses penguatan ISPO sebagai bagian dari perbaikan tata kelola industri kelapa sawit (hulu biodiesel).

Namun saat ini, selain Kemenko Perekonomian, terdapat juga peran yang dimainkan Kemenko Maritim dan Sumber Daya Alam terkait dengan biodiesel. Salah satunya adalah peran diplomasi untuk menghadapi beberapa tantangan dari konteks ekspor biodiesel /CPO ke Eropa. Keterlibatan Kemenko Maritim lebih bernuansa politis dan bukan dalam konteks pengelolaan biodiesel pada skala produksi, konsumsi dan pasar domestik. Namun ini menunjukan bahwa isu biodiesel harus dilihat sebagai isu strategis nasional yang memerlukan perencanaan yang matang dalam kerangka koordinasi antar instansi.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
  • Menetapkan dan melaksanakan kebijakan penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain, yang antara lain memuat jaminan ketersediaan bahan bakar nabati (biofuel) serta jaminan kelancaran dan pemerataan distribusinya;
  • Menetapkan dan melaksanakan kebijakan penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain, yang antara lain memuat jaminan ketersediaan bahan bakar nabati (biofuel) serta jaminan kelancaran dan pemerataan distribusinya;
  • Menetapkan standar dan mutu bahan bakar nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain;
  • Menetapkan sistem dan prosedur yang sederhana untuk pengujian mutu bahan bakar nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain;
  • Menetapkan tata niaga yang sederhana dari bahan bakar nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain ke dalam sistem tata niaga Bahan Bakar Minyak;
  • Melaksanakan sosialisasi penggunaan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain;
  • Mendorong perusahaan yang bergerak di bidang energi dan sumber daya;

ESDM menjalankan perannya dalam menerapkan pembuatan kebijakan, menetapkan tarif biodiesel, menyiapkan insentif fiskal dan non-fiskal, menunjuk perusahaan distribusi bahan bakar, mengatur aliran distribusi, dan mengatur kepekaan kepada publik terkait penggunaan produk biofuel. Setelah pengenalan kebijakan B20 wajib untuk PSO dan pemberian insentif ekonomi melalui dana minyak sawit pada tahun 2015, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memiliki fungsi lain untuk memverifikasi BBN Badan Usaha yang akan menerima insentif dalam bentuk mengubah perbedaan harga . Perkembangan terakhir adalah harga indeks yang diperbarui melalui Keputusan Menteri No. 1939 K/10/MEM/2018 dan juga revisi mekanisme insentif ekonomi melalui penerbitan Keputusan Menteri 41/2018.

Kementerian ESDM juga melakukan fungsi pengawasan terhadap BUBBM yang telah ditugaskan untuk mendistribusikan bahan bakar untuk pencampuran sehingga proses pencampuran bekerja dengan baik sesuai dengan target yang diwajibkan dan campuran BBM dapat didistribusikan dengan baik kepada pelanggan. Namun, fungsi pengawasan ini tidak terlalu menjadi perhatian. Pada bulan September 2018, setelah wacana biodiesel meningkat (ekspansi wajib B20). Kementerian ESDM mulai memperhatikan aspek pengawasan, dan menyelesaikan Peraturan Menteri ESDM dengan sanksi Rp6.000/liter jika pencampuran tidak terjadi. Peran ini juga harus diperkuat dengan mengintensifkan sistem kelembagaan dan pemantauan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Menteri Pertanian
  • Membangun standar dan kualitas bahan bakar nabati sebagai bahan bakar lain;
  • Melakukan pelatihan dalam pengembangan tanaman bahan baku nabati;
  • Memfasilitasi pengadaan bibit tanaman duntuk bahan baku mentah bahan bakar nabati;
  • Mengintegrasikan kegiatan pengembangan dan kegiatan pasca panen tanaman bahan baku bahan bakar nabati (biofuel).

Kementerian Pertanian (Kementan) merupakan regulator utama sektor hulu program biodiesel, terutama terkait dengan penyediaan bahan baku utamanya yaitu kelapa sawit. Fungsi Kementan meliputi pengawasan kegiatan produksi perkebunan, penyediaan varietas benih unggul, penguatan kapasitas petani melalui program pelatihan, serta mengintegrasikan kegiatan produksi dengan program pasca panen. Dalam hal peran Kementan dalam kegiatan pasca panen, cakupannya sampai pada pelaku usaha pengolahan (BUBBN) yang terintegrasi dengan perkebunan.

Catatan yang penting apabila melihat pada perkembangannya adalah belum jelasnya posisi Kementan dalam hal penyediaan tanaman untuk bahan baku biodiesel. Artinya, pertanyaan yang masih tersisa adalah apakah untuk penyediaan ini kementan masih akan mendorong pengembangan lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit. Atau melakukan intensifikasi terhadap lahan-lahan perkebunan yang saat ini telah beroperasi. Walaupun dalam wawancara yang dilakukan dinyatakan bahwa Kementan telah menerapkan program untuk intensifikasi, namun aktualisasi di lapangan masih belum terlalu banyak. Selain itu, penunjukandedicated area untuk pengembangan biodiesel juga belum ditemukan.

Hal ini menjadi penting untuk diperhatikan, agar anggapan bahwa biodiesel menjadi bahan bakar yang tidak ramah lingkungan akibat 'rakus lahan' tidak terus terjadi. Setidaknya, Kementan bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dapat melakukan sebuah kerja sama antar kementerian terkait dengan penghitungan daya tampung dan daya dukung lingkungan hidup terkait dengan perkebunan kelapa sawit. Langkah ini bisa menunjukan kepada dunia internasional bahwa Pemerintah Indonesia mengambil langkah nyata untuk menjadikan biodiesel sebagai isu strategis nasional.

Menteri Kehutanan
Menteri Negara Lingkungan Hidup
  • Memberikan izin pemanfaatan lahan hutan yang tidak produktif bagi pengembangan bahan baku bahan bakar nabati (biofuel) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  • Melakukan sosialisasi dan komunikasi kepada masyarakat mengenai pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain yang ramah lingkungan.

Sejak 2014, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementrian Kehutanan digabung dan menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Ketika merujuk pada fungsi yang diharapkan dalam Inpres 1 tahun 2006, perannya berbeda. Karena KLH hanya diharapkan untuk dapat melakukan sosialisasi, sedangkan Kementerian Kehutanan (Kemhut) diharapkan untuk dapat memberikan izin pemanfaatan hutan yang tidak produktif. Sekilas, peran tersebut nampak bisa lebih serasi ketika dijalankan dalam satu kementerian seperti KLHK. Namun pada kenyataannya fungsi untuk penyediaan lahan dan sosialisasi berada pada ranah direktorat yang berbeda dalam internal KLHK.

Namun di sisi lain, hal ini dapat menjadi peluang untuk membenahi tata kelola biodiesel di Indonesia. Sehingga strategi maupun perencanaan dalam konteks penyediaan lahan dapat dijalankan dengan lebih efisien. Dalam konteks ini, KLHK dapat melakukan inventarisasi lahanlahan yang tidak produktif, lalu menyiapkan skenario untuk pengembangan tanaman bahan baku untuk biodiesel, sehingga secara bersamaan proses sosialisasi juga dapat dijalankan dengan sistematis. Permasalahan utamanya adalah, biodiesel di Indonesia hampir semuanya berbahan dasar kelapa sawit. Sehingga perlu dicarikan alternatif untuk bahan baku lain, sehingga KLHK dapat berperan tanpa menghilangkan fungsinya sebagai regulator di sektor kehutanan.

Pada tahun 2017, Menteri KLHK mulai mewacanakan kembali pembangunan Hutan Tanaman Energi (HTE). Namun secara operasional, wacana ini belum dapat terlihat efektivitasnya karena memang masih sebatas wacana. Kebijakan untuk pengadaan HTE tersebut telah dituangkan ke dalam Roadmap Pembangunan Industri Kehutanan Berbasis Hutan Tanaman 2013-2018 sebesar 900.000 Ha. Namun hingga saat ini aktualisasi di lapangan masih belum beisa ditemukan.

Menteri Perindustrian
  • Meningkatkan pengembangan produksi dalam negeri peralatan pengolahan bahan baku bahan bakar nabati (biofuel) dan mendorong pengusaha dalam mengembangkan industri bahan bakar nabati (biofuel).

Dukungan Kementerian Perindustrian dalam penerapan kebijakan biodiesel di Indonesia saat ini dengan memberikan dorongan dan persiapan sektor industri sebagai pengguna akhir/end user bagi biodiesel terutama industri otomotif. [1].Selain itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) juga menyiapkan regulasi bagi hilirisasi industri kelapa sawit di Indonesia termasuk regulasi pendukung bagi pabrik-pabrik biodiesel.[2] Pada tahun 2010, Kemenperin menerbitkan roadmap pengembangan klaster industri hilir kelapa sawit. Salah satu cakupannya adalah industri pengolahan biodiesel yang didorong untuk prioritas daerah Sumatera Utara, Riau, dan Kalimantan Timur. Salah satu hal yang menarik dan penting untuk diketahui adalah dokumen roadmap ini juga sudah dilengkapi dengan pembagian peran antar K/L terkait dengan penguatan industri hilir kelapa sawit. Di mana salah satu rencana aksinya mencakup juga industri hulu (peningkatan akses kredit petani).

Namun, dalam perkembangan kebijakan biodiesel, nampaknya tidak terlalu banyak pembicaraan yang mengangkat keberadaan roadmap tersebut. Seharusnya, ketika biodiesel atau pemanfaatan BBN dijadikan bagian dari transformasi energi di Indonesia menuju EBT. Setiap sektor yang terlibat perlu untuk memiliki semacam rencana strategis peran sektor tersebut untuk berkontribusi dalam kebijakan biodiesel.

Menteri Perdagangan
  • Mendorong kelancaran pasokan dan distribusi bahan baku bahan bakar nabati (biofuel);
  • Menjamin kelancaran pasokan dan distribusi komponen-komponen peralatan pengolahan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel).

Peran utama Kementerian Perdagangan (Kemendag) terhadap industri biodiesel adalah menyiapkan regulasi ekspor-impor produk kelapa sawit serta melakukan negosiasi bilateral ataupun multilateral dengan pihak negara lain sebagai tujuan ekspor biodiesel ataupun produk turunan kelapa sawit lainnya. Pada awal tahun ini, Kemendag memenangkan sengketa terhadap kebijakan larangan ekspor (anti-dumping) biodiesel yang diterapkan Uni Eropa sejak tahun 2013.[3] Selain itu, Kemendag juga melakukan perluasan pasar ekspor kepada beberapa negara Asia Timur antara lain Tiongkok dan Jepang.[4]

Dalam konteks hari ini, pada dasarnya peran Kemendag bisa juga mencakup penyiapan pasar domestik dari biodiesel. Artinya, dengan peningkatan konsumsi domestik untuk biodiesel, Kemendag memiliki peran yang besar dalam mengatur siklus perdagangannya. Ini termasuk juga terkait dengan mencari solusi untuk menjawab berbagai tantangan teknis yang terkait dengan penerapan biodiesel.

Menteri Perhubungan
  • Mendorong peningkatan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain di sektor transportasi.

Sebagai regulator utama di sektor transportasi, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengatur kegiatan operasi serta menerbitkan perizinan terhadap seluruh pelaku usaha transportasi. Bentuk dukungan yang tengah direncanakan saat ini adalah menerbitkan peraturan terkait kewajiban pemanfaatan B20 untuk berbagai operator moda transportasi termasuk di antaranya operator bus, truk, serta kapal penyeberangan.[5]

Dalam konteks hari ini, pada dasarnya Kemenhub bisa berkordinasi dengan Kemendag dalam menyiapkan skenario yang tersistem untuk menyikapi berbagai tantangan dari pemanfaatan biodiesel yang ditemui oleh pelaku transportasi Indonesia.

Menteri Negara Riset dan Teknologi
  • Mengembangkan teknologi, memberikan saran aplikasi pemanfaatan teknologi penyediaan dan pengolahan, distribusi bahan baku serta pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.

Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) melakukan berbagai studi/kajian terkait aspek teknis pelaksanaan program biodiesel. Beberapa kajian terkini yang tengah dilakukan antara lain meliputi pemanfaatan jenis-jenis feedstock lain selain kelapa sawit di tingkat hulu serta penyesuaian teknis untuk pemanfaatan biodiesel pada sektor industri ataupun jenis transportasi di mana biodiesel belum banyak digunakan misalnya angkutan penerbangan.[6] Dalam konteks hari ini, Kemenristekdikti seharusnya bisa menjadi tulang punggung dalam menyokong industri biodiesel dari sisi pengembangan di masa yang akan datang. Misalnya pengembangan konsep biodiesel generasi ke 2 dan ke 3 di Indonesia. Ini juga akan membantu Kementerian lain (Kehutanan, Pertanian, ESDM, Perdagangan dan Transportasi) dalam melihat perkembangan teknologi yang ada. Sehingga dapat menyesuaikan kebijakan yang nantinya akan diambil.

Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
  • Membantu dan mendorong koperasi dan usaha kecil dan menengah untuk berpartisipasi dalam pengembangan tanaman bahan baku bahan bakar nabati (biofuel) serta pengolahan dan perniagaan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.

Kementerian Koperasi (Kemenkop) dan Usaha Kecil Menengah (UKM) saat ini tengah menyelenggarakan kegiatan peningkatan kapasitas terhadap petani kelapa sawit melalui program penguatan pengembangan Koperasi Unit Desa (KUD) di beberapa provinsi sentra produksi sawit nasional yang menjadi tulang punggung utama industri biodiesel. Kemenkop dan UKM juga melaksanakan program Kredit usaha Rakyat (KUR) yang bertujuan memberikan modal usaha bagi petani sawit swadaya dengan bunga pinjaman rendah yang diharapkan dapat mendorong produktivitas para petani sawit swadaya.[7] Untuk konteks hari ini, kementerian ini juga dapat melihat dan mengidentifikasi berbagai permasalahan kelembagaan di tingkat petani. Karena salah satu permasalahan utama yang dihadapi Pemerintah Daerah maupun lembaga keuangan dalam melakukan pembinaan petani adalah, tidak terlembaganya petani dengan baik. Skenario strategis dari Kementerian ini dapat menjadi panduan yang jelas bagi pemerintah daerah maupun sektor lain yang terkait.

Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
  • Mendorong BUMN bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan untuk mengembangkan tanaman bahan baku bahan bakar nabati (biofuel);
  • Mendorong BUMN bidang industri untuk mengembangkan industri pengolahan bahan bakar nabati (biofuel);
  • Mendorong BUMN bidang rekayasa untuk mengembangkan teknologi pengolahan bahan bakar nabati (biofuel);
  • Mendorong BUMN bidang energi untuk memanfaatkan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.

Sampai saat ini, belum ada BUMN yang bergerak khusus di bidang biodiesel. Semua BUBBN berasal dari sektor swasta. BUMN yang ada saat ini hanyalah untuk bahan baku biodiesel, yaitu PT Perkebunan Nusantara yang mengolah komoditas kelapa sawit (dan berbagai komoditas perkebunan lainnya). Di tahun 2018, tidak semua (dari 14 PTPN) berada dalam kondisi yang sehat. PT Perkebunan Nusantara XIII yang berlokasi di Kalimantan Barat menutup lima perkebunan kelapa sawit di pertengahan tahun 2018 akibat kinerja yang dinilai terus memburuk.[8]

Kementerian BUMN mengatur juga BUMN bidang energi seperti Pertamina sebagai BUBBM dan PLN sebagai konsumen dari biodiesel. Untuk Pertamina, Kementerian BUMN terlihat banyak mengkoordinir internal Pertamina seperti restrukturasi yang beberapa kali terjadi dalam satu tahun terakhir (2017-2018).[9]

PLN sebagai pengguna banyak mengalami kendala dalam penggunaan campuran biodiesel. Akhirnya, dalam kebijakan terbaru yaitu Perpres 66/2018, PLN merupakan salah satu yang dikecualikan dalam mandatori campuran biodiesel, selain Freeport dan penggunaan pada ALUTSISTA.[10] Kementerian BUMN seharusnya dapat menjadi jembatan kepada kementerian lain (seperti Kementerian ESDM) untuk menyelesaikan permasalahan yang sudah lama dikeluhkan ini.

Menteri Dalam Negeri
  • Mengkoordinasi dan memfasilitasi pemerintah daerah dan jajarannya serta menyiapkan masyarakat dalam penyediaan lahan di daerah masing-masing, terutama lahan kritis bagi budi daya bahan baku bahan bakar nabati (biofuel).

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengkoordinasikan penyiapan lahan termasuk di antaranya kegiatan optimalisasi lahan kritis untuk produksi komoditas bernilai ekonomi tinggi termasuk di antaranya kelapa sawit yang menjadi komoditas utama bahan baku biodiesel. Sejak tahun 2013, Kemendagri memiliki program Penanganan Lahan Kristis dan Sumber Daya Air Berbasis Masyarakat (PLKSDA-BM), sebuah program yang berada di bawah Direktorat Jenderal Bina Pengembangan Daerah (Bangda). Dalam konteks hari ini, pada dasarnya program ini dapat dijadikan salah satu pijakan untuk melihat pada beberapa isu penyediaan lahan yang menjadi salah satu pertanyaan besar dalam industri biodiesel. Kemendagri bisa memainkan peranan penting untuk memastikan daerah melakukan perannya dalam penyusunan Rencana Umum Energi Daerah, Kajian Lingkungan Hidup Strategis, dan pelaksanaan inventarisasi sebagai bagian dari pelaksanaan program. Berdasar penelusuran yang dilakukan, pengembangan program yang ada selama ini lebih menekankan pada daerah Jawa, dan belum memasuki wilayah yang menjadi sentra produksi kelapa sawit.

Menteri Keuangan
  • Mengkaji peraturan perundang-undangan di bidang keuangan dalam rangka pemberian insentif dan keringanan fiskal untuk penyediaan bahan baku dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memiliki fungsi membuat kebijakan pendukung fiskal untuk pengembangan biodiesel, terutama terkait insentif. Kemenkeu mengatur pembentukan BPDPKS sebagai BLU pengelola dana pembiayaan sawit. Melalui Permen Keuangan No. 1 Tahun 2015, Kemenkeu menetapkan struktur organisasi serta tata kerja BPDPKS.[11] Selain itu Kemenkeu juga mengatur teknis pengelolaan dana pembiayaan sawit seperti alur pembayaran serta sistem pelaporan.

Sesuai dengan perkembangan terakhir terkait perluasan program mandatori B20 yang dituangkan pada Perpres 66/2018, Kemengkeu menjadi bagian dari komite pengarah dana pembiayaan sawit yang tugasnya menyusun kebijakan dalam penghimpunan dan penggunaan dana termasuk kebijakan pengelolaan dana untuk memperoleh nilai tambah secara berkelanjutan, serta menjadi titik utama dalam hal pengawasan atas pelaksanaan kebijakan penghimpunan dan penggunaan dana.[12] Melihat perkembangan yang terjadi, Kemenkeu bisa juga melakukan penyusunan desain bisnis yang akan dilakukan oleh BPDP-KS. Khususnya mengingat Indonesia saat ini lebih menggalakkan konsumsi pasar domestik.

Gubernur/ Bupati/ Walikota
  • Melaksanakan kebijakan untuk meningkatkan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain di daerahnya sesuai dengan kewenangannya;
  • Melaksanakan sosialisasi pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain di daerahnya;
  • Memfasilitasi penyediaan lahan di daerah masing-masing sesuai dengan kewenangannya terutama lahan kritis bagi budidaya bahan baku bahan bakar nabati (biofuel);
  • Melaporkan pelaksanaan instruksi ini kepada Menteri Dalam Negeri (untuk Gubernur) dan kepada Gubernur (untuk Bupati/Walikota).

Peran pemerintah daerah meliputi gubernur dan bupati/walikota terhadap program biodiesel adalah menerbitkan peraturan implementatif untuk mendukung pelaksanaan program B20. Bentuk utama peran pemerintah daerah terhadap program biodiesel adalah pemberian izin pembangunan infrastruktur di daerah antara lain untuk pembangunan pabrik CPO maupun pembangunan pabrik pengolahan biodiesel. Selain itu kepala daerah dapat menerbitkan rekomendasi bagi angkutan umum daerah untuk menggunakan biodiesel sebagai bahan bakar. Terakhir, pemerintah daerah melaksanakan kegiatan sosialisasi terhadap masyarakat untuk meningkatkan kesadartahuan mereka terhadap program biodiesel nasional. Selain tugas tersebut, Pemerintah Daerah juga pada dasarnya bisa berkoordinasi dengan Kemendagri untuk mempersiapkan lahan yang akan diperuntukan bagi industri bahan baku biodiesel. Sehingga penyediaan lahan yang akan dilakukan oleh Pemerintah daerah dilakukan berdasarkan perencanaan yang matang.

Sayangnya, pemerintah daerah belum semua bisa berperan dengan efektif sesuai yang direncanakan. Menurut wawancara oleh CIFOR, pemerintah daerah masih memandang biodiesel adalah ranah kebijakan energi dari pemerintah pusat.[13] Dalam laporan yang sama, CIFOR menyarankan pemerintah provinsi dapat membuat peraturan di tingkat daerah yang dapat mendorong perusahaan pengolah minyak kelapa sawit kecil untuk mengembangkan biodiesel melalui penyediaan sejumlah insentif.

Aktor Pada Aspek Ekonomi (Jual - Beli)

Petani/Pekebun Swadaya Merupakan penanam kelapa sawit yang tidak berafiliasi dengan perusahaan. Sehingga semuanya didasarkan pada modal pribadi. Banyak dari petani swadaya tidak memiliki organisasi yang mewadahi, sehingga sifat dalam melakukan usaha taninya masih individual. Karakter dari aktor ini adalah individu dan cenderung 'bebas' tidak terikat pada sebuah institusi. Namun dengan karakter tersebut, aktor ini juga tidak secara jelas terukur kondisi sosial- ekonominya. Aktor ini tidak memisahkan peruntukkan dari buah yang merekajual. Artinya, mereka hanya memiliki kepentingan agar buah yang mereka panen dapat terjual dengan harga yang baik.[14]
Petani/Pekebun Plasma Menanam kelapa sawit yang berafiliasi dengan perusahaan perkebunan. Aspek permodalan untuk melakukan kegiatan perkebunan menjadi tanggungan dari perusahaan. Penjualan hasil juga dilakukan kepada perusahaan induknya. Perbedaan mendasar antara aktor ini dengan pekebun swadaya adalah keterikatan aktor ini dengan institusi usahaperkebunan induk. Artinya, aktor ini lebih memiliki kejelasan dari sisi penjualan, perolehanbenih dan pemupukan. Walaupun aktor ini juga masih memiliki berbagai kendala dari sisi sosial- ekonominya terkait dengan praktik perkebunan mereka.[15]
Kelompok Tani/Koperasi Merupakan asosiasi atau kelompok dari petani kelapa sawit yang bisa berbentuk badan hukum atau tidak. Menjadi salah satu bentuk pengorganisasian petani kelapa sawit. Institusi ini memainkan peranan penting dalam konteks industri kelapa sawit, karena menjadi salah satu syarat utamadalam hal pembiayaan dan sertifikasi keberlanjutan. Namun di banyak tempat, pekebun tidak memiliki/ tergabung dalamkelompok, karena belum memiliki kemampuanuntuk membangun institusi petani yang efektif dan profesional.[16]
Pekebun Skala Menengah Memainkan peranan sebagai penghasil TBS, namun berbeda dari skala perkebunan (dibandingkan dengan pekebun kecil). Peran dari pekebun ini cukup signifikan dalam menyediakan suplai kepada perusahaan yang besar. Kualitas TBS juga lebih terjaga dibandingkan dengan pekebun kecil. Terdapat beberapa perkebunan skala menengah yang terafiliasi langsung (maupun tidak langsung) dengan perusahaan besar.
Perkebunan Skala Besar terintegrasi Memainkan peranan keseluruhan industri hulu biodiesel maupun industri hulu CPO. Memiliki perkebunan sekaligus pabrik kelapa sawit (dan beberapa di antaranya memiliki pabrik biodiesel juga). Walaupun perkebunan ini memiliki semua perangkat yang dibutuhkan untuk mengolah biodiesel maupun produk lain dari CPO. Suplai dari pekebun kecil maupun menengah tetap dibeli oleh perkebunan ini.
Tengkulak Pembeli pertama dari Tandan Buah Segar yang dihasilkan oleh petani swadaya. Posisi tengkulak menjadi sangat penting bagi petani karena mereka yang akan membawa hasil panen ke pabrik atau ke tempat pengumpulan hasil (collecting points). Karena petani jarang yang memiliki akses langsung ke pabrik. Peran dan skala dari tengkulak ini bermacam- macam. Mulai dari yang skala kecil hingga besar. Aktor ini juga bisa merangkap menjadi petani, tokoh masyarakat, atau masih memiliki hubungan kekerabatan dengan petani. Tengkulak pada dasarnya dibutuhkan oleh petani (swadaya) karena membantu dalam transportasi buah hasil panen. Tengkulak ini ada yang memiliki akses langsung kepada pabrik, tapi ada juga yang melalui broker untuk dapat dikoneksikan kepada pabrik.[17]
Broker Berperan dalam memperkenalkan tengkulak kepada pabrik kelapa sawit apabila tengkulak belum memiliki akses kepada pabrik. Aktor ini pada dasarnya tidak memiliki peran mendasar dalam proses industri perkebunan kelapa sawit. Perannya hanya membuka akses dari tengkulak kepada pabrik. Aktor ini juga bisa merangkap sebagai tengkulak, sehingga peran tambahan yang dimiliki aktor ini terletak padaakses kepada pabrik.
Mills/Pabrik KelapaSawit Kecil Pengolah tandan buah segar yang diperoleh dari petani maupun kebunnya sendiri. Beberapa mills memiliki afiliasi dengan perkebunan skala besar. Olahan dari mills ini akan menghasilkan CPO yang kemudian disalurkan kepada pabrik pengolahan menjadi barang jadi.Dalam konteks biodiesel disebut sebagai refinery/kilang. Aktor ini berpengaruh dalam hal pengolahan tandan buah segar yang dihasilkan petani dan dibeli oleh tengkulak (atau disalurkan oleh broker). Beberapa tengkulak/brokermemiliki relasi kerja sama dengan pabrik, dan mendapatkan komisi dari penjualan tandan buah segar ke pabrik.
Mills/Pabrik KelapaSawit Besardan terintegrasi Pengolah tandan buah segar yang skalanya lebih besar. Umumnya memiliki kebun, pengolahan, petani plasma binaan dan mengambil suplai dari mills yang berukuran lebih kecil. Pengolahan skala besar ini juga biasanya memiliki pabrik manufaktur dan kilangnya sendiri. Aktor ini walaupun sudah memiliki semua fasilitas (perkebunan, pabrik, dan bahkan pabrik biodiesel), namun untuk memenuhi demand masih menerima suplai dari pabrik skala kecil. Sekitar 80% dari keseluruhan produksi diambil dari pemasok lain (di luar dari kapasitas perusahaan).[18]
Pabrik Biodiesel Mengolah CPO menjadi B100, menjadikan diversifikasi produk CPO di luar oleopangan dan oleochemical. Aktor ini umumnya merupakan bagian dari grup pengusaha perkebunan dan pabrik kelapa sawit. Namun ada juga yang tidak terafiliasi dengan perusahaan perkebunan.

Aktor Pada Aspek Non Ekonomi (Governance, Sosial, Politik, dan Lingkungan Hidup)

Pemerintah Daerah & Pusat Melakukan peran regulator dan tata kelola secara keseluruhan industrikelapa sawit maupun biodiesel. Aktor ini sangat berpengaruh, khususnya dalam konteks pemberlakuan sebuah kebijakan. Sehingga sangat menentukan keberlangsungan dari keseluruhan industri biodiesel di Indonesia.
Kelompok Masyarakat Sipil Pada umumnya terdapat dua peran yang dilakukan, yaitu:Peran PendampinganDilakukan oleh beberapa kelompok dengan tujuan untuk mendampingi petani dalam melakukan praktik perkebunan yang berkelanjutan.Peran KritisiDilakukan untuk memberikan tekanan kepada beberapa isu berdasar pada investigasi dan analisis yang dilakukan. Dari dua peran yang diambil tersebut, kelompok masyarakat sipil memainkan peran yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah. Misalnya dalam hal pendampingan, seharusnya menjadibagian dari peran pemerintah untuk melakukan pembinaan terhadap petani. Sedangkan peran kritisi seharusnya menjadi bagian dari peran pemerintah dalam hal pengawasan praktik perkebunan.
Media Massa Berperan untuk memberitakan berbagai dinamika industri biodiesel di Indonesia. Beberapa memiliki fungsi juga untuk media promosi dan advokasi, serta berperan juga untuk melakukan peliputan yang obyektif. Dalam memainkan perannya, media massa dapat mempengaruhi berbagai kondisi eksternal (konsumen, pengambil kebijakan, pelaku pasar, dll.) yang berpengaruh pada keseluruhan industri biodiesel.

Catatan kaki:

1. Syahrizal Sidik, "Menteri Airlangga Klaim Sektor Industri Siap Gunakan Bahan Bakar Biodiesel 20" [dakses 10 September 2018]. (kembali)
2. Kementrian Perindustrian, "Produksi CPO Akan Capai 42 Juta Ton, Kemenperin Pacu Industri Hilir" [diakses 10 September 2018]. (kembali)
Kementrian Perindustrian, "Produksi CPO Akan Capai 42 Juta Ton, Kemenperin Pacu Industri Hilir" [diakses 10 September 2018].
3. Ahmad Fauzi, "Sengketa Biodiesel dengan Uni Eropa, Indonesia Akhirnya Menang" [diakses 10 September 2018]. (kembali)
Ahmad Fauzi, "Sengketa Biodiesel dengan Uni Eropa, Indonesia Akhirnya Menang" [diakses 10 September 2018].
4. Yoga Hastyadi Widiartanto, "China dan Jepang Minati Biodiesel Indonesia" [diakses 10 September 2018. (kembali)
Yoga Hastyadi Widiartanto, "China dan Jepang Minati Biodiesel Indonesia" [diakses 10 September 2018.
5. Ridwan Aji Pitoko, "Kemenhub Dorong Penggunaan Biodiesel di Seluruh Angkutan Darat dan Penyebrangan" [diakses 10 September 2018]. (kembali)
6. Dika Irawan, "Kemenristekdikti Gandeng Dua Kementrian Teliti Aviation Biofuel" [diakses 10 September 2018]. (kembali)
Dika Irawan, "Kemenristekdikti Gandeng Dua Kementrian Teliti Aviation Biofuel" [diakses 10 September 2018].
7. Dinas KUKM Jawa Barat, "Kemenkop dan UKM Perkuat Kelembagaan KUD Sawit" [diakses 10 September 2018]. (kembali)
Dinas KUKM Jawa Barat, "Kemenkop dan UKM Perkuat Kelembagaan KUD Sawit" [diakses 10 September 2018].
8. Yohanes Kurnia Irawan,"PTPN XIII Berhenti Beroperasi untuk Sementara" [diakses 10 September 2018]. (kembali)
Yohanes Kurnia Irawan,"PTPN XIII Berhenti Beroperasi untuk Sementara" [diakses 10 September 2018].
9. Muchammad Nafi, "Akhir Kisah Elia Massa Manik di Pertamina" [diakses 10 September 2018]. (kembali)
Muchammad Nafi, "Akhir Kisah Elia Massa Manik di Pertamina" [diakses 10 September 2018].
10. Puti Aini Yasmin, "Alutsista hingga Freeport Tak Wajib Pakai Biodiesel 20%" [diakses 10 September 2018]. (kembali)
Puti Aini Yasmin, "Alutsista hingga Freeport Tak Wajib Pakai Biodiesel 20%" [diakses 10 September 2018].
11. Kementrian Keuangan, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113/PMK-01/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. (kembali)
Kementrian Keuangan, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113/PMK-01/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
12. Hendra Kusuma, "Pemerintah Resmi Perluas Penggunaan Biodiesel" [diakses 10 September 2019]. (kembali)
Hendra Kusuma, "Pemerintah Resmi Perluas Penggunaan Biodiesel" [diakses 10 September 2019].
13. Arya Hadi Dharmawan, Nuva, Sudaryanti DA, Prameswari AA, Amalia R dan Dermawan A, "Pengembangan bioenergi di Indonesia: Peluang dan tantangan kebijakan industri biodiesel", Working Paper 242, Bogor, Indonesia: Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), 2018. (kembali)
Arya Hadi Dharmawan, Nuva, Sudaryanti DA, Prameswari AA, Amalia R dan Dermawan A, "Pengembangan bioenergi di Indonesia: Peluang dan tantangan kebijakan industri biodiesel", Working Paper 242, Bogor, Indonesia: Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), 2018.
14. Serikat Petani Kelapa Sawit, Petani Swadaya Kelapa Sawit Indonesia: Keterbatasan Definisi, Kesenjangan, dan Tantangan, 2008. (kembali)
Serikat Petani Kelapa Sawit, Petani Swadaya Kelapa Sawit Indonesia: Keterbatasan Definisi, Kesenjangan, dan Tantangan, 2008.
15. Sri Palupi dkk., Privatisasi Transmigrasi Dan Kemitraan Plasma Menopang Industri Sawit, Jakarta: The Institute for Ecosoc Rights, 2017. (kembali)
Sri Palupi dkk., Privatisasi Transmigrasi Dan Kemitraan Plasma Menopang Industri Sawit, Jakarta: The Institute for Ecosoc Rights, 2017.
16. Institut Penelitian Inovasi Bumi (INOBU), Seluk Beluk Pekebun Kelapa Sawit dan Tantangan Budi Daya Sawit Secara Swadaya: Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia, Jakarta, 2016, h. 28-29. (kembali)
Institut Penelitian Inovasi Bumi (INOBU), Seluk Beluk Pekebun Kelapa Sawit dan Tantangan Budi Daya Sawit Secara Swadaya: Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia, Jakarta, 2016, h. 28-29.
17. Daemeter, Overview of Indonesian Oil Palm Smallholders Farmers, Jakarta: Daemeter Consulting, 2015. (kembali)
Daemeter, Overview of Indonesian Oil Palm Smallholders Farmers, Jakarta: Daemeter Consulting, 2015.
18.  Hasil wawancara dengan PT Murini Sam Sam bagian Pabrik Kelapa Sawit (Wilmar Group) tanggal 13 Agustus 2018. (kembali)
Hasil wawancara dengan PT Murini Sam Sam bagian Pabrik Kelapa Sawit (Wilmar Group) tanggal 13 Agustus 2018.