Pemanfaatan

Infografis Komitmen Pemerintah dalam menurunkan emisi gas rumah kaca dalam Paris Agreement (Ilustrasi: Koaksi Indonesia)
Infografis Komitmen Pemerintah dalam Menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca dalam Paris Agreement (Ilustrasi: Koaksi Indonesia)

Salah satu tujuan diberlakukan program biodiesel di Indonesia adalah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Pemerintah Indonesia telah berkomitmen dalam Paris Agreement untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen di tahun 2030. Kementrian ESDM menyatakan bahwa implementasi program B20 di tahun 2018 dapat mengurangi emisi gas rumah kaca setara dengan emisi yang dikeluarkan oleh 20.317 bus kecil.

Nozel pompa Pertamina
Perusahaan minyak milik negara Indonesia, Pertamina, akan melakukan digitalisasi nozel pompa gas dari 5.518 pompa bensinnya di seluruh negeri.[1]

Secara umum, FAME memiliki properti fisik yang mirip dengan diesel berbasis minyak bumi (petroleum) meskipun terdapat pula beberapa perbedaan esensial diantara keduanya. Biodiesel FAME merupakan jenis bahan bakar yang ramah lingkungan dikarenakan tidak adanya kandungan sulfur serta nilai emisi gas buang yang lebih rendah dibandingkan bahan bakar diesel konvensional (petroleum diesel). Pembakaran biodiesel murni (B100) memiliki nilai emisi gas buang yang lebih rendah 75% dibandingkan dengan diesel konvensional. Apabila dicampurkan sebesar 20% dengan bahan bakar diesel konvensional (B20) maka nilai pengurangan emisi menjadi 15%[2]. Perbedaan antara keduanya juga terlihat dari sisi teknis seperti yang ditunjukkan tabel komparasi berikut ini[3]

Lebih jauh terkait aspek teknis, terdapat beberapa perbadaan antara biodiesel (FAME) dengan diesel konvensional anatara lain dalam hal nilai bilangan cetana (cetane) serta kandungan oksigen pada fluida. Biodiesel memiliki nilai bilangan cetane yang lebih besar (56) dibandingkan minyak solar (50) seperti yang ditunjukkan pada tabel di atas yang berarti biodiesel memiliki laju pembakaran yang lebih baik sehingga cocok digunakan pada mesin diesel kecepatan tinggi. Akan tetapi, biodiesel memiliki permasalahan teknis berupa ketidakstabilan oksidasi yang diakibatkan adanya kandungan oksigen pada biodiesel sebesar 11% sebagai hasil proses transesterifikasi pada kegiatan produksi biodiesel. Kandungan biodiesel ini memiliki beberapa dampak negatif antara lain nilai energi yang dihasilkan pada pembakaran biodiesel lebih rendah 5-10% dibandingkan minyak solar[4]. Pada biodiesel campuran B20, perbedaan energi yang dihasilkan hanya sebesar 2,8% atau dapat dikatakan insignifikan.

Tabel Komparasi FAME - Diesel Konvensional
Tabel Komparasi FAME - Diesel Konvensional

Dikarenakan beberapa permasalahan tersebut, saat ini perusahaan otomotif terutama yang berasal dari Eropa seperti Mercedez-Benz merekomendasikan penggunaan biodiesel hanya untuk pencampuran dengan jumlah sedikit antara 5% sampai dengan 7%[5]. Pencampuran dengan proporsi lebih banyak dari itu akan membutuhkan penyesuaian teknis yang bersifat menyeluruh sehingga akan membutuhkan biaya yang mahal.

Biodiesel dan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca

Latar dari pemanfaatan biodiesel bisa beragam, namun dalam era di mana tantangan terbesar umat manusia adalah perubahan iklim, maka latar utama dari pemanfaatan biodiesel adalah penurunan emisi gas rumah kaca. Biodiesel sebagai bagian dari energi baru dan terbarukan dipandang dapat menjadi solusi bagi emisi sektor transportasi maupun energi pada umumnya. Data dari WRI mencatat bahwa emisi dari sektor energi di Indonesia mencapai 489,1 MtCO2 equivalent, atau sebesar 1,12% dari emisi global. Kontribusi emisi dari sektor energi ini mencakup sektor transportasi dan pembangkit listrik, dan merupakan kontribusi terbesar dari keseluruhan total emisi gas rumah kaca.[6] Dari gambaran tersebut, wajar apabila biodiesel dipandang sebagai sebuah solusi yang dapat berkontribusi pada pengurangan emisi dari sektor energi.

Penggunaan biodiesel dinilai mengeluarkan emisi yang lebih rendah dibandingkan solar murni. Menurut studi dari Yee, dkk (2009), emisi CO2 dari pembakaran 1 liter biodiesel, 38% lebih kecil dibandingkan dengan pembakaran minyak solar.[7] Hitungan ini yang menjadi dorongan biodiesel dicetuskan sebagai bahan bakar alternatif untuk menggantikan bahan bakar fosil (selain perihal bahwa bahan bakar fosil akan habis dalam waktu yang relatif cepat). Mengenai hal ini, Kementerian ESDM juga menyatakan bahwa implementasi program B20 di tahun 2018 dapat mengurangi emisi GRK senilai 5,61 juta ton CO2eq atau setara dengan emisi yang dikeluarkan 20.317 bus kecil.[8]

Pada sisi lain, walaupun penggunaan minyak nabati sebagai bahan bakar dapat dikategorikan energi baru terbarukan namun belum dapat dikategorikan sebagai energi “bersih”. Pasalnya, apabila dilakukan penghitungan emisi secara linear dari proses pembukaan lahan hutan, penanaman kelapa sawit hingga menjadi biodiesel yang digunakan pada kendaraan, emisi dari jejak karbon (carbon footprint) yang dihasilkan dari biodiesel menjadi lebih besar dibandingkan bahan bakar fosil. Carlson, dkk (2012) membuat studi emisi karbon dalam konteks pembukaan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan. Hasilnya menunjukan, jumlah emisi yang dikeluarkan selama tahun 1990-2010 untuk konversi hutan ke kelapa sawit jika tanpa menggunakan pembakaran adalah 1,5047 GtCO2 (giga ton CO2), sedangkan praktik penggunaan api untuk konversi lahan dapat meningkatkan emisi ini sebanyak 24%.[9] Untuk memberikan gambaran, 1,5047 GtCO2 senilai dengan emisi yang dikeluarkan oleh 322.205.567 mobil selama satu tahun.[10]

Dalam perhitungan emisi GRK, model yang sekarang menjadi umum adalah life cycle assessment (LCA). Sehingga untuk menentukan emisi yang dikeluarkan oleh biodiesel harus memperhitungkan dari persiapan lahan. Akan tetapi, kondisi industri kelapa sawit di Indonesia maupun aspek pemanfaatan lahannya merupakan hal yang kompleks dan tidak bisa semua disamaratakan. Artinya, untuk menghitung jejak karbon dari biodiesel di Indonesia, diperlukan pendekatan yang spesifik dan teknik contoh yang ditentukan secara saksama. Misalnya saja, diperlukan pembedaan dari asal pembukaan lahan, kapan lahan dibuka, tingkat produktivitas dan pola pengelolaan kebun. Karena pada konteks Indonesia, tidak semua perkebunan kelapa sawit mendapatkan perlakuan yang sama. Terdapat beberapa perkebunan yang telah dibuka sejak era kolonial dan ini memiliki bobot perhitungan emisi yang berbeda.

Kondisi ini memposisikan kebijakan biodiesel pada sebuah paradoks, penurunan emisi pada satu sisi secara bersamaan juga menambah emisi. Pada tahun 2010, kebutuhan sawit dunia mencapai 171 juta ton. Indonesia menyumbang sebesar 14,3% atau sekitar 24,6 juta ton. Kebutuhan dunia tersebut diperkirakan meningkat pada tahun 2030, mencapai 355 juta ton. Namun di sisi lain, pertumbuhan rata-rata untuk luas lahan yang dibutuhkan dalam perkebunan sawit dari periode 2000 - 2014 mencapai 400.000 hektar per tahun.[11]Kondisi ini mengharuskan industri kelapa sawit memiliki strategi jitu untuk mengatasinya.

Untuk menghindari situasi yang paradoksal ini, salah satu intervensi yang perlu untuk dilakukan pemerintah adalah menghentikan laju pembukaan lahan baru bagi perkebunan baru kelapa sawit. Intervensi ini pada dasarnya juga menjadi semangat dari blueprint BBN yang dikeluarkan pada tahun 2006 oleh Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati. Prioritas dalam konteks penyediaan lahan adalah:

"..Mengembangkan kebun khusus (dedicated area) dengan terlebih dahulu memanfaatkan ijin usaha perkebunan (IUP) yang telah dikeluarkan tapi belum dimanfaatkan maupun melalui ijin baru"
Blueprint BBN 2006 -2025

Dokumen tersebut dalam perkembangannya tidak terlalu mendapatkan ruang dalam berbagai pembicaraan terkait biodiesel. Hal ini mungkin dikarenakan penyusunan dokumen tersebut dilakukan oleh pemerintahan yang berbeda. Sehingga pemerintahan selanjutnya tidak melihat signifikansinya merujuk pada dokumen blueprint tersebut. Namun seharusnya, dokumen perencanaan tersebut tidak dilupakan hanya karena pergantian pemerintahan. Karena, konsep penyiapan dedicated area untuk pengembangan BBN tersebut bisa memberikan pijakan yang kuat bagi industri biodiesel Indonesia secara keseluruhan. Indonesia bisa meminimalkan perdebatan mengenai lahan dan industri biodiesel. Pengembangan perkebunan kelapa sawit yang memperhatikan perlindungan gambut akan menghasilkan 37-45% emisi lebih kecil dibandingkan skenario Business As Usual. Sedangkan penanaman yang memperhatikan aspek perlindungan hutan akan mengurangi emisi GRK sebanyak 71-111%. Kondisi ini dapat tercapai dengan catatan bahwa pembukaan lahan menggunakan metode tanpa bakar.[12] Hitungan ini akan memberikan implikasi yang sangat positif, dan bisa diwujudkan apabila Indonesia memiliki sebuah dedicated area khusus untuk pengembangan biodiesel.

Uraian tersebut menunjukan bahwa tata kelola lahan dalam keseluruhan industri kelapa sawit sebagai bahan baku dari biodiesel memegang peranan kunci dalam penentuan besaran emisi. Selain itu, kita dapat melihat bahwa keberadaan perkebunan kelapa sawit pada dasarnya dapat dilakukan seiring sejalan dengan tujuan penurunan emisi dan konservasi terhadap hutan. Walaupun kondisi demikian masih jauh dari harapan apabila melihat pada kondisi lapangan yang ada.

Emisi Gas Rumah Kaca dari Produksi Biodiesel

Oleh: Mutmainah Septiani - Traction Energy Asia

Sudah tidak asing lagi bagi kita mendengar kata "Pemanasan Global". Kata Global membuat isu ini menjadi penting tidak hanya untuk kawasan atau negara tertentu tetapi bagi seluruh dunia. Hal ini tentunya membuat kita bertanya-tanya, apa yang menyebabkan pemanasan global? Dan apa bahayanya?

Pemanasan global pada dasarnya disebabkan oleh tingginya konsentrasi dari emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang terlepas ke udara dan menyebabkan peningkatan suhu rata-rata lapisan atmosfer dan juga laut. Emisi GRK sendiri didominasi oleh gas Karbondioksida (CO2) dan gas Metana (CH4). Pelepasan GRK mulanya terjadi secara alami dari lingkungan sekitar, namun nyatanya aktivitas manusia juga ikut berkontribusi serta menambah volume konsentrasi tersebut. Tidak hanya berbahaya bagi kesehatan, emisi GRK juga dapat menimbulkan bencana bagi ekosistem Bumi. Lantas apa upaya Indonesia dalam mengatasinya?

Pada tahun 2015, dalam pidatonya di KTT Perubahan Iklim (COP 21) Paris, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa Indonesia berkomitmen dalam aksi global untuk menurunkan emisi GRK sebesar 29% di tahun 2030. Upaya yang dilakukan Pemerintah Indonesia sebagian besar diproyeksikan dari aksi mitigasi pada sektor lahan dan energi, sebab kedua sektor ini menjadi kontributor utama dalam pelepasan emisi GRK nasional. Sumber utama penyumbang emisi GRK terbesar berasal dari sektor alih guna lahan (Land Use Change and Forestry - LUCF) dan sektor energi. Masing-masing sektor menyumbang 63% dari sektor LUCF dan 19% dari sektor penggunaan bahan bakar.[13] Tercantum juga dalam Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia, Pemerintah Indonesia telah menentukan kebijakan bauran energi sebagai upaya mitigasi pada sektor energi. Secara kolektif, bauran energi ditetapkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) untuk transformasi energi rendah emisi di tahun 2020-2025. Yang kemudian Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan mengenai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sebagai penjabaran dan rencana pelaksanaan atas KEN tersebut.[14]

Demi mencapai target EBT setidaknya 23% pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050, Pemerintah Indonesia mengeluarkan sejumlah kebijakan pendukung terkait dengan pengembangan biodiesel sebagai energi baru terbarukan. Biodiesel merupakan bahan bakar nabati (BBN) untuk mesin atau motor diesel yang berasal dari minyak nabati atau lemak hewani, saat ini bahan baku yang digunakan untuk produksi biodiesel di Indonesia berasal dari minyak sawit.[15] Dukungan pengembangan biodiesel salah satunya melalui regulasi tentang mandatori program B20 (campuran antara 20% volume minyak sawit dan 80% volume minyak diesel). Sejatinya Pemerintah Indonesia telah mewajibkan untuk substitusi bahan bakar fosil ke BBN secara bertahap,[16] mulai dari B10 di tahun 2013, B20 di tahun 2016, kemudian B30 di tahun 2020,[17] hingga ke depannya menjadi B100 (green fuel). Menurut Traction beberapa hal yang diharapkan dalam pemanfaatan komoditas kelapa sawit sebagai bahan produksi Biodiesel, yakni:

  • Mewujudkan ketahanan energi nasional
  • Mengurangi konsumsi dan impor bahan bakar fosil
  • Menciptakan nilai tambah untuk industri sawit dari hulu sampai hilir
  • Berkontribusi menurunkan emisi GRK di sektor energi

Namun, masih terdapat polemik dalam proses produksi biodiesel, mengingat penggunaan biodiesel berpotensi memicu persaingan dengan makanan. Persaingan ini dikhawatirkan kemudian dapat mendorong deforestasi. Hal ini menjadi kekhawatiran para aktivis lingkungan hidup. Di samping itu, emisi pembakaran biodiesel pada mesin kendaraan memang lebih rendah dibandingkan dengan emisi dari bahan bakar fosil, tetapi jejak emisi karbon dari seluruh proses produksi biodiesel tersebut bisa jadi lebih tinggi dari bahan bakar fosil, jika biodiesel dihasilkan dari kebun-kebun kelapa sawit yang terlibat dalam deforestasi. Dengan kata lain posisi kebijakan biodiesel bisa menjadi sebuah paradoks, ketika biodiesel diharapkan mampu mengurangi emisi GRK, tetapi justru menyumbang emisi GRK lebih banyak.

Kajian Emisi dari Produksi Biodiesel

Traction Energy Asia (Traction) telah melakukan kajian dengan menggunakan metodologi analisa daur hidup atau Life Cycle Analysis (LCA) terhadap produksi biodiesel dari CPO. Tujuannya untuk membuktikan apakah pemanfaatan biodiesel menghasilkan emisi GRK lebih rendah dibandingkan dengan bahan bakar fosil atau justru sebaliknya. Batasan LCA dalam penelitian ini dimulai dari tahapan alih guna lahan atau Land Use Change (LUC) hingga B20 blending. Dengan demikian, LCA memberikan angka emisi dari praktik produksi biodiesel.

Traction memperoleh data perusahaan dari masing-masing laporan berkelanjutan (sustainability report) yang diterbitkan oleh beberapa perusahaan sawit. Laporan-laporan berkelanjutan tersebut menampilkan laporan emisi GRK selama periode pelaporan, sumber-sumber emisi GRK, dan intensitas emisi per output produk. Selain itu, tim peneliti Traction juga melakukan survei lapangan untuk pengambilan sampel dan verifikasi data petani sawit swadaya (smallholders). Untuk survei lapangan, Traction memilih dua Kabupaten masing-masing di dua wilayah Provinsi yakni Riau (Siak dan Pelalawan) dan Kalimantan Barat (Sanggau dan SIntang). Kedua provinsi ini dipilih karena termasuk dalam lima provinsi penghasil sawit terbesar di Indonesia berdasarkan data dari Ditjen Perkebunan tahun 2018.

1. Perusahaan

Data perusahaan hanya memberikan total emisi GRK untuk produk akhir CPO yang merujuk pada Sustainability Report 2017 dan 2016. Terdapat empat perusahaan yang laporan berkelanjutannya dijadikan rujukan oleh Traction, dan keempat perusahaan tersebut melaporkan emisi GRK yang berbeda. Perbedaan yang cukup besar terjadi pada perusahaan yang memiliki konversi lahan sesudah tahun 2005 dan kebun di tanah gambut. Perusahaan yang memasukkan LUC sebagian dari areal perkebunannya memiliki emisi GRK 12,6% lebih tinggi dibandingkan dengan emisi GRK perusahaan yang tidak perlu memperhitungkkan LUC dikarenakan areal pengembangan dilakukan sebelum November 2005 sesuai ketentuan RSPO.

Meskipun tidak semua dari perusahaan-perusahaan tersebut memberikan secara rinci atas sumber emisi GRK, namun dalam laporan Traction dapat terlihat bahwa terdapat pola yang serupa di keempat perusahaan tersebut. Bagi perusahaan yang membuka lahan sesudah tahun 2005 dan memiliki kebun di tanah gambut, emisi terbesar dikontribusikan oleh kegiatan pembukaan lahan dan oksidasi gambut kemudian diikuti dengan Dinitrogren Oksida (N2O), limbah pabrik sawit - Palm Oil Mill Effluent (POME), dan penggunaan pupuk. tabel emisi GRK produksi biodiesel oleh perusahaan yang dimuat di dalam laporan Traction, yang merangkum seluruh Emisi GRK dari produksi biodiesel oleh perusahaan.

Tabel Emisi GRK Produksi Biodiesel oleh Perusahaan (Hasil studi Traction Energy Asia)
Tabel Emisi GRK Produksi Biodiesel oleh Perusahaan[18]

2. Petani Swadaya

Dari titik pabrik CPO hingga blending B20, Traction melakukan penghitungan emisi GRK dari produksi biodiesel oleh petani swadaya dengan menggunakan asumsi dan angka dari perusahaan. Hal ini dikarenakan petani swadaya berkontribusi pada rantai pasokan hanya sampai pabrik kelapa sawit (PKS) saja. Dengan demikian, terdapat beberapa data petani sawit yang tidak dapat diperoleh oleh Traction sebagai contoh data CPO extraction rate, maka menggunakan extraction rate perusahaan dalam kajian ini.

Tabel Emisi GRK Produksi Biodiesel oleh Petani Swadaya (Hasil studi Traction Energy Asia)
Tabel Emisi GRK Produksi Biodiesel oleh Petani Swadaya[19]

Terlihat dalam tabel di atas bahwa apabila tidak terdapat pengembangan lahan sawit dari gambut dan dengan asumsi semua pengembangan lahan bersumber pada jenis tanah mineral, emisi dari petani swadaya Riau dan Kalimantan Barat secara berurutan adalah 2,74 kg CO2eq/L B20 dan 2,71 kg CO2eq/L B20. Namun, apabila seluruh kebun sawit swadaya dikembangan di lahan gambut maka akan terjadi lonjakan emisi GRK hingga 6,08 kg CO2eq/L B20 untuk Kalimantan Barat dan 7,09 kg CO2eq/L B20 untuk Riau.

Angka emisi GRK yang dihasilkan oleh bahan bakar diesel adalah 3,14 kg CO2eq/L diesel. Mengingat B20 merupakan campuran antara 20% volume biodiesel dan 80% volume minyak diesel, maka berdasarkan laporan Traction diperoleh angka emisi GRK untuk produk akhir B20 berada pada rentang 2,67 kg CO2eq/L B20 hingga 7,09 kg CO2eq/L B20. Dengan catatan bahwa biodiesel dari minyak sawit yang dibudidaya di kebun yang dibuka sebelum tahun 2005,[20] Sedangkan angka 7,09 kg CO2eq/L B20 terjadi apabila terdapat alih guna lahan gambut menjadi kebun sawit.

Traction juga menyimpulkan bahwa emisi GRK dari perkebunan dan pabrik kelapa sawit memberikan kontribusi sebesar 83% - 95%. Tahap perkebunan sendiri memberikan kontribusi besar untuk emisi biodiesel di Indonesia dengan mencapai 80% atau lebih atas emisi GRK dalam rantai pasokan biodiesel. Selain itu, transportasi pada pengangkutan tandan buah segar (TBS) juga merupakan sumber emisi terbesar bagi petani sawit swadaya. Pemakaian bahan bakar untuk transportasi petani swadaya berada pada rentang 39% (Kalbar) hingga 49% (Riau). Emisi GRK transport petani swadaya Riau lebih tinggi dibandingkan Kalimantan Barat. Hal ini disebabkan oleh produktivitas responden di Kalimantan Barat yang lebih tinggi, sehingga muatan (tonase) per truk per trip menjadi lebih efisien dan truk memuat lebih banyak TBS untuk setiap trip.

Catatan kaki:

1. Daniel Infante Tuaño, "Indonesia’s Pertamina to digitize more than 5.000 petrol stations" [diakses 12 Juli 2019]. (kembali)
Daniel Infante Tuaño, "Indonesia’s Pertamina to digitize more than 5.000 petrol stations" [diakses 12 Juli 2019].
2. Inforse, "Biodiesel" [diakses 20 Juni 2018]. (kembali)
Inforse, "Biodiesel" [diakses 20 Juni 2018].
3. European Biofuels Technology Plaform, "Fatty Acid Methyl Esters (FAME)" [diakses 4 Agustus 2018]. (kembali)
European Biofuels Technology Plaform, "Fatty Acid Methyl Esters (FAME)" [diakses 4 Agustus 2018].
4. Pacific Biodiesel, "Biodiesel Benefits – Why Use Biodiesel" [diakses 20 Juni 2018]. (kembali)
Pacific Biodiesel, "Biodiesel Benefits – Why Use Biodiesel" [diakses 20 Juni 2018].
5.  Honeywell International Inc, "Honeywell Green Diesel" [diakses 20 Juni 2018]. (kembali)
Honeywell International Inc, "Honeywell Green Diesel" [diakses 20 Juni 2018].
6. Johannes Friedrich, Mengpin Ge dan Andrew Pickens, "This Interactive Chart Explains World’s Top 10 Emitters, and How They’ve Changed” [diakses 17 Agustus 2018]. (kembali)
Johannes Friedrich, Mengpin Ge dan Andrew Pickens, "This Interactive Chart Explains World’s Top 10 Emitters, and How They’ve Changed” [diakses 17 Agustus 2018].
7. Kian Fei Yee, Kok Tat Tan, Ahmad Zuhairi Abdullah dan Keat Teong Lee, “Life cycle assessment of palm biodiesel: Revealing facts and benefits for sustainability”, Elsevier, Volume 86, (Science Direct: Applied Energy), 2009, h. 189-196. (kembali)
Kian Fei Yee, Kok Tat Tan, Ahmad Zuhairi Abdullah dan Keat Teong Lee, “Life cycle assessment of palm biodiesel: Revealing facts and benefits for sustainability”, Elsevier, Volume 86, (Science Direct: Applied Energy), 2009, h. 189-196.
8. Humas EBTKE, "FAQ : Program Mandatori Biodiesel 30% (B30)” [diakses 26 Desember 2019]. (kembali)
Humas EBTKE, "FAQ : Program Mandatori Biodiesel 30% (B30)” [diakses 26 Desember 2019].
9. Carlson, K. M., Curran, L. M., Asner, G. P., Pittman, A. M., Trigg, S. N. dan Marion Adeney, J., “Carbon emissions from forest conversion by Kalimantan oil palm plantations”, Nature Climate Change, 2012, h. 283-287. (kembali)
Carlson, K. M., Curran, L. M., Asner, G. P., Pittman, A. M., Trigg, S. N. dan Marion Adeney, J., “Carbon emissions from forest conversion by Kalimantan oil palm plantations”, Nature Climate Change, 2012, h. 283-287.
10. United States Environmental Protection Agency (US EPA), "Greenhouse Gas Equivalencies Calculator" [diakses 25 Agustus 2018]. (kembali)
United States Environmental Protection Agency (US EPA), "Greenhouse Gas Equivalencies Calculator" [diakses 25 Agustus 2018].
11. Simon dkk., “Menakar Sawit: Riset Kawasan, Korupsi, dan Pendapatan Daerah di Sulawesi dan Kalimantan”, Bogor: Sawit Watch, 2015. (kembali)
12. Carlson, K. M., Curran, L. M., Asner, G. P., Pittman, A. M., Trigg, S. N. dan Marion Adeney, J., loc. cit. (kembali)
Carlson, K. M., Curran, L. M., Asner, G. P., Pittman, A. M., Trigg, S. N. dan Marion Adeney, J., loc. cit.
13. Presiden Republik Indonesia, Nationally Determined Contribution Pertama Republik Indonesia, 2016. (kembali)
Presiden Republik Indonesia, Nationally Determined Contribution Pertama Republik Indonesia, 2016.
14. Presiden Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional. (kembali)
Presiden Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional.
15. Humas EBTKE, "FAQ : Program Mandatori B20" [diakses 8 November 2019]. (kembali)
Humas EBTKE, "FAQ : Program Mandatori B20" [diakses 8 November 2019].
16. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. (kembali)
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.
17.  Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 12 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. (kembali)
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 12 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.
18. Traction Energy Asia, loc. cit. (kembali)
Traction Energy Asia, loc. cit.
19. Traction Energy Asia, loc. cit. (kembali)
Traction Energy Asia, loc. cit.
20. Roundtable Sustainability Palm Oil, "RSPO Certification" [diakses 11 November 2019]. (kembali)
Roundtable Sustainability Palm Oil, "RSPO Certification" [diakses 11 November 2019].