Standar

1. Memposisikan (Kembali) Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Kepentingan lingkungan hidup, ekonomi dan masyarakat (sosial) akan selalu beririsan satu dengan yang lainnya. Namun ketiganya seringkali berjalan ke arah yang berlawanan. Kepentingan ekonomi cenderung berjalan tanpa melihat aspek keberlanjutan lingkungan. Sementara kepentingan lingkungan hidup kerap muncul sebagai antitesis dari pembangunan yang mengedepankan kemajuan ekonomi. Dan masyarakat berada di tengah kutub-kutub kepentingan tersebut. Konsep pembangunan berkelanjutan yang hadir di tengah tarik-menarik tersebut, menjadi titik kulminasi dari perjalanan 20 tahun sebelumnya, saat digelar Konferensi Manusia dan Lingkungan di Stockholm tahun 1972. Konsep ini hadir untuk menjadi jalan tengah dari irisan tiga kepentingan tersebut, dan melahirkan Deklarasi Rio yang terdiri dari 27 prinsip yang akan menjadi panduan dalam melakukan pembangunan berkelanjutan.

Dalam membicarakan industri kelapa sawit dan biodiesel, pada dasarnya semua prinsip dalam deklarasi Rio tersebut sangat relevan. Namun terdapat empat prinsip yang paling relevan dengan perkembangan industri kelapa sawit dan biodiesel saat ini, yaitu:

  • Pembangunan Berkelanjutan yang Terintegrasi (Sustainable Development through Integration)

    In order to achieve sustainable development, environmental protection shall constitute an integral part of the development process and cannot be considered in isolation from it.

    Prinsip ini menekankan pada integrasi pola pembangunan dan upaya perlindungan lingkungan. Ini berarti bahwa pelaksanaan pembangunan harus didasari pada perlindungan lingkungan dan bukan menjadi dua bagian yang terpisah. Dalam konteks industri biodiesel, ini juga berarti bahwa upaya perlindungan lingkungan perlu untuk menjadi bagian yang terintegrasi dari keseluruhan rantai produksi. Ketika melihat perkembangan industri biodiesel saat ini, prinsip ini menjadi relevan untuk dilihat kembali.

  • Pola Produksi Konsumsi dan Kebijakan Demografis yang Berkelanjutan (Sustainable Patterns of Production and Consumption and Demographic Policies)

    To achieve sustainable development and a higher quality of life for all people, States should reduce and eliminate unsustainable patterns of production and consumption and promote appropriate demographic policies.

    Prinsip ini memiliki penekanan yang meskipun hampir serupa dengan prinsip 4, namun terdapat penekanan spesifik. Hal yang bisa digarisbawahi dari prinsip ini adalah membedakan antara negara maju dan negara berkembang.[1] Artinya, meskipun kedua klasifikasi negara tersebut sama-sama perlu untuk mengedepankan pola produksi-konsumsi yang berkelanjutan, tapi penerapannya bisa jadi berbeda. Hal itu yang mendapatkan penekanan pada kata "kebijakan demografis". Artinya, setiap kondisi demografi akan memiliki perbedaan yang cukup mencolok. Misalnya tingkat populasi, tingkat daya beli dan lain sebagainya. Dalam industri biodiesel, pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan menjadi sangat signifikan. Terutama terkait dengan permasalahan penyediaan bahan baku untuk biodiesel dan keselamatan ekosistem hutan. Pola dari produksi kelapa sawit perlu melihat situasi demografis dari ketersediaan lahan di Indonesia.

  • Partisipasi Publik (Public Participation)

    Environmental issues are best handled with the participation of all concerned citizens, at the relevant level. At the national level, each individual shall have appropriate access to information concerning the environment that is held by public authorities, including information on hazardous materials and activities in their communities, and the opportunity to participate in decision-making processes. States shall facilitate and encourage public awareness and participation by making information widely available. Effective access to judicial and administrative proceedings, including redress and remedy, shall be provided.

    Prinsip ini pada dasarnya telah mendapatkan tempat yang cukup luas dalam kerangka peraturan perundangan di Indonesia. Pada sektor perkebunan, kehutanan, dan lingkungan hidup, sudah terdapat aturan yang memberikan landasan bagi partisipasi publik. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya masih terdapat banyak kritik terkait dengan partisipasi publik (khususnya dalam sektor pengelolaan hutan dan lahan) yang masih belum optimal.[2]

    Belum optimalnya partisipasi publik juga bisa dirasakan dalam industri kelapa sawit sebagai bagian terpenting dalam industri biodiesel di Indonesia.[3] Pada industri hilir biodiesel, kerap Prinsip ini menekankan pada kebijakan ekonomi ditemukan adanya ketidakpuasan konsumen terhadap performa biodiesel dan bagaimana skema penerapan biodiesel (keluhan kerusakan mesin dan kelangkaan produk). Mekanisme penanganan pengaduan dalam hal ini juga masih belum terlihat jelas. Baru pada September 2018, BPDP-KS membuka call center untuk pengaduan penerapan biodiesel.

  • Lingkungan dan Perdagangan (The Environment and Trade)

    States should cooperate to promote a supportive and open international economic system that would lead to economic growth and sustainable development in all countries, to better address the problems of environmental degradation. Trade policy measures for environmental purposes should not constitute a means of arbitrary or unjustifiable discrimination or a disguised restriction on international trade. Unilateral actions to deal with environmental challenges outside the jurisdiction of the importing country should be avoided. Environmental measures addressing transboundary or global environmental problems should, as far as possible, be based on an international consensus.

    Prinsip ini menekankan pada kebijakan ekonomi yang bersifat menghambat, khususnya dalam hal perdagangan internasional. Melihat dinamika biodiesel, prinsip ini sangat relevan untuk dilihat kembali. Pada tahun 2018, dinamika kelapa sawit sebagai bahan baku biodiesel mendapatkan tantangan baru dari Uni Eropa dan juga Amerika Serikat. Tindakan yang serupa dengan embargo terhadap biodiesel yang berbahan dasar kelapa sawit terjadi. Seharusnya, prinsip ke 12 dari deklarasi Rio ini bisa menjadi pegangan bagi Pemerintah Indonesia untuk meletakan posisinya secara jelas. Walaupun ini juga berarti bahwa strategi di dalam negeri dalam memandang biodiesel sebagai isu strategis nasional perlu untuk dilakukan.

Empat prinsip tersebut, bisa menjadi kata kunci yang relevan dalam melihat dinamika industri biodiesel di Indonesia. Dalam kerangka kebijakan nasional, dan untuk memperjelas tujuan dari pembangunan berkelanjutan, diterbitkan Peraturan Presiden 59/2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). Peraturan ini adalah tindak lanjut dari hasil pertemuan Konfrensi PBB untuk Pembangunan Berkelanjutan di Rio de Janeiro pada tahun 2012. Sebuah kelanjutan dari 15 tahun perjalanan Deklarasi Rio tahun 1997. Kali ini, yang lahir bukan lagi sekadar prinsip namun sudah mengerucut pada tujuan dari pembangunan berkelanjutan. Dalam skala nasional, diterjemahkan ke dalam kerangka kebijakan yang memandatkan untuk melakukan penyusunan Peta Jalan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2017-2030 (Peta Jalan TPB), Rencana Aksi Nasional Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2017-2019 (RAN TPB), dan Rencana Aksi Daerah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2017-2019 (RAD TPB). Semua dokumen operasional ini akan diselaraskan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah Nasional.

Sehingga, di atas kertas pada dasarnya konsep pembangunan berkelanjutan sudah menjadi lebih jelas implementasinya. TPB sendiri memiliki 17 tujuan yang hendak dicapai untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Dalam membicarakan industri biodiesel dan kelapa sawit, setidaknya terdapat 4 tujuan yang terkait erat. Yaitu tujuan ke 7 tentang energi bersih dan terjangkau, tujuan ke 12 tentang produksi dan konsumsi yang bertanggung jawab, tujuan ke 13 tentang penanggulangan perubahan iklim serta, tujuan ke 15 tentang ekosistem daratan. Penjabaran dari pencapaian tujuan-tujuan tersebut yang dituangkan kedalam RAN TPB, RAD, TPB, dan Peta Jalan TPB. Hingga laporan ini ditulis, dokumen Peta Jalan dan RAD TPB masih disusun.

1.1 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan Industri Biodiesel Indonesia

Untuk dapat melihat relevansi tujuan pembangunan berkelanjutan dengan dinamika kebijakan biodiesel nasional, perlu melihat posisinya di dalam RAN TPB. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menerbitkan Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional 7/2018 tentang Koordinasi, Perencanaan, Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan Pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Di mana peraturan ini menjadi landasan pedoman penyusunan RAD dan Peta Jalan, sekaligus menjadi landasan hukum untuk RAN TPB.

Dalam penjabaran terkait dengan tantangan dari pencapaian tujuan ke tujuh (energi bersih dan terjangkau), RAN meletakan tantangan BBN (termasuk biodiesel) pada selisih harga yang masih lebih mahal dibandingkan bahan bakar fosil. Sedangkan tantangan untuk penerapan energi baru dan terbarukan (EBT) yang terkait dengan lahan, dokumen RAN hanya mengidentifikasi tantangan tersebut pada penerapan energi panas bumi. Karena lokasinya bersinggungan dengan kawasan lindung/konservasi.

Nampaknya dalam mengidentifikasi tantangan dari aspek EBT, dokumen RAN masih belum secara lengkap melihat permasalahan mendasar dari pelaksanaan EBT di Indonesia. Khususnya terkait dengan penerapan industri BBN (biodiesel). Karena pada kenyataannya faktor lahan juga menjadi tantangan terbesar dari implementasi kebijakan biodiesel. Sebaliknya, dokumen RAN menekankan pentingnya peningkatan produktivitas bahan baku BBN (biodiesel) tanpa mengidentifikasi berbagai permasalahan yang ditekankan pada industri hilir. Dalam bagian target dan arah kebijakan TPB, dokumen RAN juga tidak terlalu banyak melihat konteks keseluruhan implementasi kebijakan biodiesel selama ini. Tiga strategi yang dijabarkan untuk meningkatkan peran energi baru terbarukan, yaitu (i) menerapkan kebijakan harga dan insentif yang tepat untuk mendorong investasi di bidang energi baru terbarukan; (ii) meningkatkan pemanfaatan aneka energi baru terbarukan untuk pembangkit listrik; dan (iii) meningkatkan pemanfaatan bahan bakar nabati untuk transportasi melalui Fuel-Blending biodiesel dan bioetanol. Dari arah ini, terlihat bahwa aspek hulu hingga hilir yang turut mewarnai kebijakan biodiesel di Indonesia belum mendapatkan porsi yang cukup untuk dipertimbangkan.

Dalam matriks kegiatan pemerintah yang terkait dengan energi baru terbarukan, tidak terlihat adanya kegiatan yang mengarah kepada sinergisitas antara industri hulu dan hilir biodiesel. Artinya, kegiatan yang masuk ke dalam kegiatan pemerintah terkait energi baru terbarukan khususnya BBN hanya terbatas pada peningkatan bauran.

Dalam tujuan ke 12 tentang produksi dan konsumsi yang bertanggung jawab, terdapat dua arah kebijakan yang bisa dilihat sebagai peluang dalam memastikan akuntabilitas dari produk biodiesel. Yaitu, strategi kegiatan ecolabeling dan penerapan prinsip-prinsip good cycle serta good process. Kedua strategi tersebut bisa menjadi bagian untuk mewujudkan biodiesel yang berkelanjutan. Beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit skala besar telah menerapkan kebijakan keberlanjutan lingkungan (sustainability standard) pada internal perusahaan. Penerapan good cycle dan good process bisa menjadi bagian yang menjamin akuntabilitas dari produk biodiesel dan melepaskan anggapan bahwa biodiesel merupakan bahan bakar yang tidak ramah lingkungan. Namun dokumen RAN TPB belum melihat peluang-peluang tersebut sebagai strategi yang dikaitkan dengan industri biodiesel. Terbukti dengan pilihan dari kegiatan ecolabel yang dimasukan ke dalam kerangka strategi masih terbatas pada kelayakan yang pada dasarnya bukan merupakan ecolabel yang kuat untuk komoditas, namun lebih mengarah kepada indeks kinerja perusahaan terkait lingkungan.

Sedangkan untuk tujuan ke 13 tentang penanganan perubahan iklim, langkah untuk pengurangan emisi dari lintas sektor mencakup transportasi dan energi. Selain itu peningkatan pemanfaatan EBT juga menjadi arah kebijakan dalam kerangka penangan perubahan iklim. Namun secara bersamaan, arah kebijakan juga diarahkan untuk meningkatkan potensi serapan karbon dari lahan hutan. Kondisi ini belum tersentuh kerangka strategi utuh dari tujuan penanganan perubahan iklim. Karena biodiesel sebagai bagian dari EBT baik pada sektor transportasi maupun energi, masih akan sulit berkembang ketika isu soal penyediaan lahan belum dipikirkan secara serius. Terlebih lagi, ketika eksistensi dari ekosistem hutan juga menjadi bagian dari upaya penurunan emisi. Konteks ini kemudian terkait dengan tujuan ke 15 tentang ekosistem daratan. Pasalnya, salah satu tantangan dari ekosistem daratan yang diidentifikasi dalam dokumen RAN TPB adalah tingginya tindak illegal dan perbaikan tata kelola hutan (termasuk kebakaran hutan dan lahan). Hal ini yang menjadi salah satu tantangan mendasar dari industri hulu biodiesel. Sedangkan dari keempat TPB yang ada, belum terlihat ketersinggungan untuk mempertimbangan secara strategis terkait industri hulu dan hilir dari biodiesel.

Melihat uraian di atas, belum terlihat adanya semangat integrasi menjadi kata kunci dalam konsep awal dari pembangunan berkelanjutan (prinsip 4). Arah kebijakan masing-masing TPB dalam konteks yang terkait dengan biodiesel masih terlihat sektoral dan belum terintegrasi antara industri hulu biodiesel dan hilir biodiesel.

2. Upaya Perwujudan Pembangunan Berkelanjutan dalam Industri Kelapa Sawit dan Biodiesel

Sebagaimana diutarakan sebelumnya, bahwa salah satu model yang bisa menjadi peluang untuk menciptakan akuntabilitas dari produk biodiesel adalah dengan menggunakan standar keberlanjutan. Walaupun bukan solusi bagi semua permasalahan, namun setidaknya keberadaan standar keberlanjutan dapat memberikan ruang check and balances terhadap industri biodiesel. Dalam hal ini, standar keberlanjutan diperlukan untuk memiliki cakupan dari mulai hulu (perkebunan) hingga hilir (distribusi). Artinya, sistem akuntabilitas yang dimiliki perlu untuk dapat memberikan gambaran konkret bahwa biodiesel yang digunakan telah melalui proses produksi yang bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup dan ekosistemnya (good cycle and good process).

Pada bagian ini, akan dibahas lima standar yang terkait dengan industri perkebunan kelapa sawit dan biodiesel. Yaitu, Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO), Roundtable on Sustainable Biomass (RSB), Roundtable of Sustainable Palm Oil (RSPO), International Standard for Carbon Certification (ISCC) dan Global Bio Energy Partnership (GBeP). Masih terdapat beberapa standar lain yang tidak tercakup dalam bahasan pada bagian ini, namun setidaknya lima standar yang terdapat di bawah ini merupakan yang paling relevan serta banyak dikenal pada isu kelapa sawit maupun biodiesel. Kami melakukan klasifikasi umum dari topik yang termuat di dalam standar tersebut. Menggunakan klasifikasi yang disusun oleh International Trade Center (ITC), prinsip tersebut terdiri dari:[4]

Etik
Prinsip etik melihat sejauh mana perusahaan menjalankan usahanya dengan mengedepankan integritas dan etika berbisnis. Beberapa kriteria yang tercakup dalam klasifikasi ini antara lain kelengkapan legalitas perusahaan, aspek perizinan, serta ketaatan perusahaan terhadap regulasi yang berlaku baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional.
Lingkungan
Perhatian serta tanggung jawab pelaku usaha terhadap isu lingkungan dan konservasi menjadi salah satu acuan utama yang digunakan pada berbagai standar keberlanjutan. Beberapa tolak ukur pada klasifikasi lingkungan ini mencakup kebijakan perusahaan untuk melindungi keanekaragaman hayati di sekitar wilayah operasi mereka, penanganan dan pengelolaan limbah, serta usaha perusahaan untuk menjaga kondisi ekosistem seperti tanah, air, serta hutan.
Sosial
Tanggung jawab sosial pelaku usaha terhadap tenaga kerjanya serta masyarakat sekitar merupakan aspek penting yang digunakan berbagai standar keberlanjutan. Klasifikasi ini mencakup jaminan kesejahteraan, keselamatan pekerja, pemberdayaan masyarakat dan pengembangan mekanisme pengaduan/keluhan terkait dengan usaha yang dilakukan.
Ekonomi
Kestabilan ekonomi perusahaan juga menjadi salah satu poin penting untuk menilai aspek keberlanjutan perusahaan. Beberapa komponen penting dalam klasifikasi ini antara lain adalah tingkat viabilitas ekonomi perusahaan, manajemen perusahaan yang mengedepankan prinsip keberlanjutan, serta bagaimana perusahaan melaksanakan kegiatan bisnisnya di tiap-tiap tahapan mata rantai usaha.
Kualitas
Perhatian serta komitmen pelaku usaha pada kualitas produk yang mereka hasilkan juga menjadi aspek yang penting. Beberapa poin yang masuk dalam klasifikasi ini adalah produktivitas kerja perusahaan, sistem penilaian/audit berkala, aspek evaluasi dan pemantauan kegiatan usaha, serta transparansi dan ketelusuran terhadap bahan baku produk ataupun komponen usaha lainnya.

Untuk melakukan analisis terhadap lima standar yang akan dibahas, dilakukan interpretasi terhadap klasifikasi tersebut diatas. Interpretasi tersebut dilakukan untuk memahami proporsi pada setiap prinsip yang dimiliki masing-masing standar yang akan dibahas. Selain itu, dilakukan juga pembobotan terhadap prinsip maupun indikator-indikator yang tertuang di dalam standar berdasarkan klasifikasi tingkat urgensi pemenuhan indikator. Klasifikasi tersebut adalah deal-breaker, major, serta minor. Indikator yang dikategorikan sebagai deal-breaker mendapatkan tiga poin, untuk kategori major diberi bobot dua poin, serta satu poin untuk indikator-indikator dengan tingkat urgensi yang paling rendah (minor).[5]

2.1 Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO)

Indonesian Sustainable Palm Oil Certification System (ISPO) adalah sistem sertifikasi yang didasari oleh seperangkat prinsip, kriteria dan indikator yang dimaksudkan untuk menjadi sebuah sistem standarisasi industri kelapa sawit di Indonesia. Sistem ini berdasarkan pada Permen Pertanian Nomor 11 Tahun 2015 tentang ISPO. Pada lampiran peraturan tersebut, pengertian dari ISPO adalah sistem usaha di bidang perkebunan kelapa sawit yang layak ekonomi, layak sosial, dan ramah lingkungan di dasarkan pada peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Sistem ini diawali dengan pembagian klasifikasi kebun yang diatur melalui Permen Pertanian Nomor 7 Tahun 2009 tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan. Setelah sebuah usaha perkebunan mendapatkan klasifikasinya, ISPO kemudian diberlakukan bagi usaha perkebunan yang diwajibkan untuk memiliki sertifikat ISPO.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, ISPO memiliki dua pendekatan yang berbeda dengan standar keberlanjutan yang lain, yaitu pendekatan sukarela dan wajib. Salah satu hal yang penting untuk diperhatikan adalah, kewajiban untuk memiliki ISPO dikecualikan bagi perusahaan perkebunan yang ditujukan untuk energi terbarukan.[6] Artinya, cakupan ISPO terhadap pelaku usaha yang terkait dengan biodiesel (sebagai bagian dari energi terbarukan) menjadi bersifat sukarela.

Dengan tingginya citra buruk biodiesel di mata internasional pada saat ini, seharusnya perusahaan minyak sawit yang memproduksi CPO untuk kebutuhan energi terbarukan diberlakukan juga sifat wajib. Dengan demikian, jalur rantai pasok biodiesel Indonesia lebih terjamin keberlanjutannya.

2.1.1 Lingkup ISPO

Diagram disamping menunjukan bahwa indikator di dalam ISPO memiliki fokus pada klasifikasi Lingkungan, Etik, serta Sosial. Ketiga klasifikasi tersebut mencapai 80% dari seluruh indikator yang ada. Sebagai standar keberlanjutan yang berada di bawah Kementan, indikator dari ISPO didasarkan pada berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan terkait dengan perkebunan (bukan hanya Undang-Undang [UU] Perkebunan). Ini mencakup UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Kehutanan, dan UU Penataan Ruang. Sehingga basis dari indikator adalah peraturan perundangan yang berlaku. Beberapa kritik terkait ISPO menekankan bahwa ISPO tidak lebih dari kodifikasi peraturan perundang-undangan. Sehingga pada dasarnya ISPO hanya menjadi alat cek kelengkapan ketaatan pelaku usaha terhadap peraturan perundangan, dan lebih tepat dikatakan sebagai standar legalitas dibandingkan standar keberlanjutan.

Pie Chart: Perbandingan Indikator ISPO
Perbandingan Indikator ISPO

Terlepas dari kritik tersebut, karena berdasarkan pada peraturan perundangan di Indonesia maka cakupan dari prinsip maupun indikator dalam ISPO juga tidak berbeda jauh dengan apa yang disyaratkan dalam peraturan. Untuk klasifikasi etik, ISPO mencakup tapi tidak terbatas pada izin pendirian usaha (badan hukum), izin lokasi, izin lingkungan (termasuk prasyaratnya seperti AMDAL), HGU, juga perizinan usaha perkebunan seperti IUP, IUP-B dan IUP-P. Sedangkan dalam konteks klasifikasi lingkungan, ISPO meletakan prinsip dan indikator yang mencakup tapi tidak terbatas pada pelaksanaan kegiatan identifikasi, pengelolaan serta pemeliharaan terhadap sumber dan kualitas air, sertifikasi benih, SOP kerja, serta lokasi penanaman (lahan mineral/gambut). Sedangkan untuk klasifikasi sosial, prinsip dan indikator ISPO menekankan pada kewajiban pengusaha dalam menerapkan kesehatan dan keselamatan kerja (K3), sosialisasi K3, pelaporan pelaksanaan K3, penyediaan Jamsostek, dan menjaga kualitas lingkungan hidup bagi warga masyarakat di sekitar kebun.

Klasifikasi ini kemungkinan tidak terlalu tepat untuk diterapkan pada ISPO, khususnya karena semua prinsip dan kriteria dari ISPO berdasar pada peraturan perundangan Indonesia. Sehingga apabila klasifikasi dilakukan secara ketat maka hampir 100% dari prinsip dan kriteria dalam ISPO masuk ke dalam klasifikasi etik. Karena klasifikasi etik mencakup berbagai isu yang terkait dengan legalitas. Namun demikian, analisis ini disusun tidak terlalu ketat sehingga melihat kepada konteks isu dari prinsip dan kriteria dari ISPO.

2.1.2 Evaluasi Penerapan ISPO

Dalam pemberlakuan ISPO selama enam tahun, berbagai pihak merasakan bahwa sistem ini belum dapat memberikan jawaban yang tepat bagi penyelesaian berbagai permasalahan mendasar dari industri kelapa sawit Indonesia. Dalam perkembangannya, pada pertengahan 2016, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk melakukan penguatan terhadap ISPO.

Kebijakan ini muncul karena tingkat penerimaan pasar internasional terhadap ISPO sangat rendah. Berbagai pihak mempertanyakan akuntabilitas dari penerapan ISPO yang dirasakan masih belum mampu menjawab berbagai tantangan pada sektor perkebunan kelapa sawit yang seharusnya bisa diminimalkan oleh hadirnya standar keberlanjutan. Forest Watch Indonesia dalam laporannya menemukan beberapa fakta yang menunjukan bahwa ISPO belum menunjukan kinerja yang memadai dalam kaitan pencapaian tujuan pembangunannya sebagai sebuah sistem sertifikasi menuju perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan. Proses pendaftaran dan sertifkasi yang berjalan sangat lambat, menyebabkan masih banyaknya celah pembukaan lahan baru. Dalam konteks deforestasi, dalam periode 2009-2013, setidaknya 516 ribu ha lahan terdeforestasi di dalam konsesi perkebunan kelapa sawit di mana pada periode tersebut ISPO dibentuk, diperkenalkan, dan mulai diterapkan.[7]

2.2 Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO)

RSPO merupakan lembaga non-profit yang menyatukan pemangku kepentingan dari tujuh sektor industri minyak kelapa sawit: produsen minyak kelapa sawit, pengolah atau pedagang, pemanufaktur barang konsumsi, pengecer, bank/investor, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan maupun sosial.[8]

RSPO didirikan tahun 2004 setelah diinisiasi oleh Aarhus United UK Ltd., Migros, Malaysian Palm Oil Association, Unilever, dan WWF di tahun 2001. Hingga 2018, RSPO telah berkontribusi untuk mensertifikasi 19% dari minyak kelapa sawit dunia atau sebanyak 12,2 juta ton, di mana 51% dari seluruh CPO tersebut berasal dari Indonesia.[9]

Target utama dari prinsip dan kriteria RSPO adalah perkebunan dan pabrik minyak kelapa sawit. Skema RSPO juga menarik komitmen dan dukungan dari berbagai aktor di rantai pasok industri kelapa sawit sampai ke pengecer walaupun bukan dengan memenuhi prinsip dan kriteria secara langsung. Akan tetapi, produk akhir yang masih menjadi fokus RSPO adalah oleopangan dan belum untuk biofuel. Terkait hal ini, RSPO menciptakan tambahan sertifikasi yang dinamakan Skema RSPO-RED.

Skema RSPO-RED merupakan respons terhadap persyaratan EU Directive 2009/28/EC sebagai bentuk promosi untuk energi terbarukan. Skema RSPO-RED didesain untuk digunakan Bersama RSPO Principles & Criteria, RSPO Certification System requirements, RSPO Supply Chain Certification System requirements, dan RSPO Supply chain Certification Standard. Penting untuk dicatat bahwa RSPO-RED merupakan tambahan yang bersifat sukarela sehingga semua persyaratan dalam standar RSPO juga berlaku. Bagian operasi rantai pasok yang memiliki sertifikasi RSPO-RED juga pasti memiliki sertifikasi RSPO untuk titik operasi yang sama.

Perbedaan besar antara skema RSPO dan skema RSPO-RED ada pada permasalahan pembukaan lahan baru dan perihal petani swadaya. Dengan tingginya dan lebih kompleksnya persyaratan EU Directive terhadap pembukaan lahan baru, RSPO-RED belum bisa mensertifikasi lahan yang buka setelah Januari 2008. Juga, RSPO-RED belum dapat mensertifikasi petani swadaya karena dinilai masih banyak dokumentasi dan administrasi yang belum final. Dalam hubungannya dengan rantai pasok di penelitian ini, bahkan dengan tambahan RSPO-RED, keseluruhan RSPO masih bergerak di sektor hilir dari perkebunan kelapa sawit sampai produsen B100.

2.2.1 Lingkup RSPO

Titik berat dalam klasifikasi prinsip dan kriteria RSPO tidak terlalu berbeda dengan ISPO, yaitu terkait klasifikasi etik, lingkungan dan sosial. 86% prinsip dan indikator RSPO masuk ke dalam tiga klasifikasi tersebut. Namun klasifikasi lingkungan dan sosial porsinya menjadi paling besar. Hal ini dimungkinkan karena titik berat prinsip dan kriteria ISPO lebih banyak hadir untuk menjawab berbagai permasalahan terkait dengan klasifikasi lingkungan dan sosial. Ini bukan berarti klasifikasi lain tidak terdapat dalam RSPO. Hanya saja porsinya tidak banyak. Tambahan RSPO-RED tidak dimasukan karena sifatnya sebagai pelengkap dan masih kecilnya partisipasi perusahaan untuk RSPO-RED. Belum terdapat perusahaan yang memiliki sertifikasi RSPO-RED di Indonesia, dibandingkan dengan sertifikasi RSPO yang mencapai 36 perusahaan perkebunan dan 161 badan usaha minyak kelapa sawit dari Indonesia.

Diagram Pie: Perbandingan Indikator RSPO
Perbandingan Indikator RSPO

Dari grafik klasifikasi di atas, dapat dilihat bahwa prinsip dan kriteria RSPO yang masuk dalam klasifikasi sosial memiliki proporsi yang paling tinggi, yaitu sejumlah 39% dari keseluruhan. Prinsip dan kriteria ini mencakup tapi tidak terbatas pada implementasi kebijakan K3, dokumentasi atas setiap tindakan terkait K3, penerapan pelatihan khusus bagi pekerja, dan penyediaan alat pengaman dasar (APD) untuk pekerja. Selain itu, prinsip dan kriteria RSPO juga mengatur perihal petani kecil dan komunitas yang terkena dampak dan juga relasi gender. Sedangkan dalam klasifikasi terbesar kedua adalah lingkungan yang mendapatkan porsi 34% dari keseluruhan prinsip dan kriteria RSPO. Hal-hal yang termasuk dalam klasifikasi ini mencakup tapi tidak terbatas pada indikator terkait kondisi tanah, pembukaan lahan hutan untuk perkebunan, penggunaan input kepada tanaman (pupuk, pestisida, dan bahan kimia lainnya), keanekaragaman hayati, pengolahan limbah, air, energi dan penghitungan karbon dalam kerangka perubahan iklim.

Dalam konteks penerimaan pasar, prinsip dan kriteria RSPO dapat lebih diterima oleh pasar internasional. Sehingga sebagian besar dari produk kelapa sawit yang sudah mendapatkan sertifikasi ISPO menyasar pasar ekspor. Terkait dengan industri biodiesel, RSPO-RED lebih memainkan peranannya sebagai sertifikasi yang memang diarahkan untuk pasar Eropa. Namun dalam pelaksanaanya, Eropa kemudian lebih melihat kepada ISCC sebagai standar yang akan digunakan terkait dengan biodiesel.[10] Pun demikian, prinsip dan kriteria yang terdapat pada RSPO menekankan pada industri hulu dari biodiesel, dan tidak memiliki cakupan hingga industri hilir biodiesel.

2.2.2 Evaluasi Penerapan RSPO

Sebagai forum multipihak, RSPO memiliki anggota yang bukan hanya produsen kelapa sawit. Organisasi masyarakat sipil juga bisa menjadi anggota dari RSPO, salah satunya adalah organisasi masyarakat sipil dari Indonesia, Sawit Watch. Pada tahun 2013, Sawit Watch memiliki beberapa catatan terhadap RSPO. Kemauan dari RSPO masih lemah untuk untuk menyelesaikan konflik yang terjadi, belum ada mekanisme yang jelas untuk melindungi kelompok masyarakat yang terkena dampak perkebunan kelapa sawit skala besar, penerapan standar ganda, belum mengakomodir petani kecil, dan buruh perkebunan kelapa sawit yang sering menjadi objek kekerasan perusahaan kelapa sawit belum menjadi prioritas RSPO. [11]

Pada sisi lain, penelitian dari University Toulouse-II Le-Mirail - Perancis, juga melihat kurang efektifnya RSPO untuk menjaga konservasi biodiversitas, khususnya dalam kasus Orangutan Sumatera. Kekurangan ini dilandasi beberapa celah dalam RSPO, yaitu kurangnya insentif (lebih besar biaya yang harus dikeluarkan untuk menserfikasi RSPO dibandingkan dengan harga jual premium yang didapat dari industri hilir), kurang presisinya dokumen pedoman (masih banyak ruang untuk interpretasi), penundaan terhadap isu-isu kontroversial, kurangnya integrasi dengan konteks legal-politik-sosial Indonesia, dan kurang efektifnya sistem kontrol eksternal.[12]

2.3 International Sustainability and Carbon Certification (ISCC)

ISCC merupakan standar keberlanjutan yang dibuat melalui proses yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan secara terbuka bersama kurang lebih 250 asosiasi internasional, korporasi, institusi riset, dan LSM. Tujuan dari ISCC adalah untuk berkontribusi pada implementasi produksi berkelanjutan secara lingkungan, sosial, dan ekonomi juga penggunaan berbagai macam biomassa di rantai pasok global.[13]

ISCC diinisasi pada tahun 2010 dan sampai saat ini, ISCC telah mengeluarkan lebih dari 17.000 sertifikasi di lebih dari 100 negara (termasuk Indonesia) untuk berbagai bahan baku. Jumlah perusahaan yang mendapat sertifikasi untuk kelapa sawit sampai tahun 2018 adalah 357 perusahaan.[14]

Terdapat dua jenis sertifikasi ISCC yang umum digunakan, yaitu ISCC Plus dan ISCC EU. Perbedaan dari kedua sertifikasi ini adalah target pasarnya, di mana produk akan dipasarkan. ISCC Plus dapat digunakan untuk pasar makanan, pakan, produk bio-energi, dan biofuel di luar Eropa. Sedangkan ISCC EU didesain untuk target pasar biofuel di dalam EU karena sudah sesuai dengan Renewable Energy Directive (RED) dan Fuel Quality Directive (FQD).[15]

2.3.1 Ruang Lingkup ISCC

Selain perbedaan dari tujuan pemasaran suatu produk, perbedaan antara ISCC EU dan ISCC Plus terletak pada proporsi dari masing-masing klasifikasi prinsip yang termuat di dalam standar ISCC. Titik berat aspek lingkungan hidup lebih besar dimiliki oleh ISCC EU karena syarat dalam RED juga cukup tinggi. Nol deforestasi, kawasan ekosistem esensial dan kawasan konservasi menjadi beberapa persyaratan yang dimuat dalam RED dan diakomodir dalam ISCC EU. Sebaliknya, penekanan untuk ISCC Plus karena tidak tunduk pada ketentuan RED (yang hanya berlaku di negara anggota Uni Eropa) maka aspek lingkungannya menjadi lebih rendah. Namun demikian, perbedaan proporsi keduanya tidak terlalu signifikan dan berpengaruh banyak.

Dalam konteks biodiesel, ISCC dijadikan landasan untuk menilai produk biodiesel yang datang dari Indonesia. Sedangkan dalam melihat prinsip, kriteria dan indikator dari ISCC, titik beratnya tetap berada pada aspek perkebunan. Artinya, cakupan ISCC juga tidak terlalu berbeda jauh dibandingkan RSPO. Ekspektasi bahwa ISCC akan memiliki sebuah penilaian standar yang spesifik untuk produk biodiesel, sejauh ini masih belum terlihat secara jelas.

Diagram Pie: Perbandingan Indikator ISCC EU dan ISCC Plus
Diagram Pie: Perbandingan Indikator ISCC EU dan ISCC Plus
Perbandingan Indikator ISCC EU dan ISCC Plus

Dapat dilihat bahwa ISCC EU sangat menitikberatkan pada indikator terkait dengan lingkungan, yaitu mencapai 61% dari seluruh indikator yang ada. ISCC EU memiliki perhatian yang lebih besar terhadap isu lingkungan dibandingkan dengan ISCC Plus yang ditujukan untuk pasar luar Eropa.

Untuk klasifikasi lingkungan ini, prinsip dan kriteria yang termuat di dalam ISCC pada dasarnya tidak terlalu berbeda dengan apa yang dimiliki oleh RSPO, namun memang memiliki cakupan yang lebih dalam untuk beberapa hal. Misalkan saja, prinsip dan indikator yang terkait dengan hutan. ISCC mencakup pembahasan mengenai peningkatan konservasi pada ekosistem hutan, konversi untuk kebutuhan pertanian, penilaian terhadap rencana pengelolaan hutan, dan konsultasi publik terkait perencanaan hutan yang disusun. Ditinjau dari rantai pasoknya, prinsip dan kriteria dari ISCC menargetkan perkebunan yang diharapkan berdampak pada seluruh komponen rantai pasok. Target ini lebih dapat tercapai untuk produk oleopangan seperti minyak goreng, akan tetapi pada kenyataannya sertifikasi ISCC tidak efektif kepada BUBBN yang memproduksi produk biodiesel.

2.3.2 Evaluasi Penerapan ISCC

Belum banyak organisasi yang menyoroti penerapan dari ISCC baik di Indonesia maupun pada skala internasional. Beberapa catatan yang ditemukan terkait dengan penerapan ISCC sejauh ini masih dirasakan oleh aktor domestik. Salah satu pendapat yang muncul terkait dengan penerapan ISCC ini adalah bertambahnya tantangan industri kelapa sawit Indonesia karena harus memiliki sertifikat internasional ISCC.[16] Dalam membaca prinsip dan kriteria yang menjadi penekanan dalam ISCC, tidak terlalu terlihat perbedaan yang cukup signifikan. Salah satu studi terkait standar keberlanjutan dan komoditas kelapa sawit di Indonesia menggambarkan perbandingan RSPO dengan ISCC seperti di bawah ini:

Namun perbandingan tersebut tidak serta merta memiliki presisi yang tinggi. Karena misalnya apabila melihat pada pengukuran terhadap gas rumah kaca (GHG) maka pada dasarnya RSPO pun memiliki kriteria untuk melakukan penghitungan tersebut. Artinya, perbedaan yang mencolok dari kedua standar tersebut juga tidak terlalu terlihat. Sehingga tidak mengherankan apabila pelaku usaha melihatnya lebih kepada beban tambahan dan cenderung lebih kental nuansa politik perdagangan internasional.

Perbandingan RSPO dan ISCC
StandarTransparansi EksternalKriteria Lingkungan HidupKriteria SosialStrictness
RSPO Prinsip dan Kriteria dipublikasikan, termasuk hasil audit dan dapat diakses publik
  • Tidak terdapat target penurunan GHG
  • Celah yang cukup besar terkait ekosistem gambut
  • Terdapat FPIC
  • Partisipasi masyarakat lokal (adat)
32 dari 39 kriteria harus melibatkan lebih dari 1 indikator wajib. 45% dari semua indikator bersifat wajib
ISCC Hanya kriteria yang dipublikasikan (karena alasan copyright)
  • Terdapat target GHG
  • Kriteria yang ketat bagi pembukaan lahan baru
  • Tidak terlalu memberikan penekanan pada keterlibatan masyarakat
Pemenuhan yang bersifat "mayor" harus memenuhi 57 dari 107 kriteria dan 60% dari kategori "minor"
Sumber: Sustainability Certification in the Indonesian Palm Oil Sector, Benefit and Challenge for Smallholders.[17]

2.4 Global Bioenergy Partnership (GBeP)

Sesungguhnya GBeP bukanlah sebuah standar keberlanjutan tetapi lebih merupakan panduan internasional untuk membantu pengambil kebijakan nasional mengembangkan sektor bioenergi (biofuel dan biomass) yang berkelanjutan, terutama di negara-negara berkembang. Dari sisi penyusunan, GBeP juga disandarkan pada hubungan multilateral antarnegara-negara anggota GBeP. Sehingga sedikit berbeda dari beberapa standar lain yang ada, dalam penjelasannya dinyatakan bahwa:

"... The indicators are value-neutral, do not feature directions, thresholds or limits and do not constitute a standard, nor are they legally binding."[18]

Dari penjelasan tersebut, bahkan secara tegas dinyatakan oleh GBeP bahwa inisiatif ini bukanlah sebuah standar. Terlepas dari keunikan ini, GBeP perlu dilihat sebagai bagian dari upaya dunia internasional dalam menyediakan arah menuju pemanfaatan bioenergi yang mempertimbangkan antara keseimbangan lingkungan, sosial dan ekonomi. Terdapat 24 indikator keberlanjutan dalam GBeP yang dibagi menjadi tiga prinsip besar yaitu lingkungan, ekonomi, serta sosial. Untuk menyeragamkan klasifikasi, walaupun GBeP hanya terdiri dari tiga tema besar, kami akan melihat konteksnya untuk menyesuaikan dengan klasifikasi yang ada.

2.4.1 Lingkup GBeP

Dari diagram tersebut, terlihat bahwa komposisi klasifikasi dari prinsip dan indikator dalam GBeP bobot terbesarnya ada pada aspek lingkungan, ekonomi dan sosial. Aspek terkait etik (mencakup legalitas) sama sekali tidak menjadi bagian dari GBeP, sedangkan aspek terkait kualitas porsinya sangat sedikit. Melalui klasifikasi tersebut, dapat terlihat bahwa GBeP pada dasarnya menekankan pada tiga pilar dari pembangunan berkelanjutan, dan mengupayakan titik tengahnya dalam hal industri biodiesel.

Diagram Pie: Perbandingan Indikator GBeP
Perbandingan Indikator GBeP

Dalam klasifikasi lingkungan, GBeP mencakup aspek kualitas tanah, emisi life cycle, kualitas air, pemanfaatan air, perlindungan keanekaragaman hayati, dan alih fungsi lahan untuk kebutuhan bahan baku biodiesel.

Dalam cakupan yang terakhir tersebut, GBeP pada dasarnya memiliki pendekatan yang cukup berbeda dengan standar lain. Karena memang sangat sesuai dengan konteks industri biodiesel. Misalnya, untuk aspek lahan, GBeP memberikan arahan dalam indikatornya untuk pemerintah melihat ketersediaan lahan yang diperuntukan bagi bahan baku biodiesel.

Dalam klasifikasi sosial, cakupan GBeP meliputi alokasi lahan masyarakat terkait industri kelapa sawit, harga suplai komoditas, peningkatan pendapatan, dan penyediaan lapangan pekerjaan terkait sektor biodiesel. Hal terkait penyediaan pekerjaan dalam industri biodiesel juga menjadi indikator yang cukup unik dan tidak dimiliki oleh standar keberlanjutan lainnya. Sedangkan dalam klasifikasi ekonomi, sebagian besar cakupan dari indikator pada GBeP tidak terlalu beda dengan beberapa indikator lainnya. Hal yang menonjol adalah karakteristik indikatornya yang terlihat memang disesuaikan untuk kebutuhan industri hulu maupun hilir dari biodiesel.

Melihat spesifikasi dari GBeP, dari beberapa standar keberlanjutan yang ada, dapat dikatakan bahwa GBeP memiliki spesifikasi yang paling kontekstual untuk industri biodiesel yang cakupannya dari hulu hingga hilir. Hanya saja, indikatornya perlu untuk memasukan aspek legalitas. Karena aspek legalitas adalah salah satu aspek penting yang menjadi akar permasalahan di Indonesia.

2.4.2 Evaluasi Penerapan GBEP

Sejauh ini, penerapan GBeP dalam konteks dinamika industri biodiesel di Indonesia masih belum terlalu jelas terlihat. Sejak kemunculannya pada tahun 2008, implementasi GBeP tidak terlalu banyak mendapatkan sorotan. Salah satu terbitan yang memberikan cukup perhatian terhadap GBeP dilakukan dalam melihat kompatibilitas GBeP pada konteks Indonesia.[19] Penelitian yang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor, Departemen Agroindustrial tersebut menunjukan bahwa tingkat kompatibilitas GBeP untuk diterapkan dalam konteks Indonesia adalah tinggi. Analisis yang dilakukan menggunakan metode Mamdani FIS (Fuzzy Inference System).[20] Artinya, dibandingkan dengan beberapa standar lain yang ada, GBeP memiliki prinsip dan kriteria yang seimbang dalam kaitannya dengan pilar pembangunan berkelanjutan (sosial, ekonomi, lingkungan).

Meskipun analisis menunjukan bahwa GBeP memiliki kompabilitas yang tinggi terhadap konteks Indonesia. Namun sifat dari GBeP yang bukan merupakan standar dan hanya berupa panduan perlu untuk ditindaklanjuti dalam sebuah kebijakan pada tingkat nasional. Sejauh ini, belum terlihat langkah yang jelas dari pemerintah untuk memberikan sebuah landasan kebijakan dalam penerapan GBeP pada industri biodiesel di Indonesia.

2.5 Roundtable on Sustainable Biomaterials (RSB)

RSB merupakan organisasi interasional independen yang melaksanakan serta mengembangkan standar keberlanjutan untuk industri yang berbasis bahan nabati (biomaterials). Standar yang dimiliki oleh RSB mencakup segala pemanfaatan bahan nabati termasuk tapi tidak terbatas pada bahan bakar nabati. RSB memiliki sifat yang sukarela dan mengikuti mekanisme pasar sebagaimana standar keberlanjutan lainnya. Artinya, penerapan RSB berada pada ranah produsen yang menghendaki sertifikasi atas produknya. Akan tetapi, pengaruh RSB cukup besar dalam konteks pengambilan kebijakan karena penerimaannya di pasar Internasional cukup besar.[21]

Dalam konteks industri biodiesel, RSB menjadi salah satu skema sertifikasi sukarela yang dapat mendukung arahan dari EU-RED (disamping skema ISCC).[22] Selain itu, pada tahun 2012 RSB melakukan proyek di Ethiopia dengan judul Towards Sustainable Biofuels in Ethiopia. Studi ini telah mengidentifikasi celah yang terkait dengan prinsip-prinsip standar tentang perencanaan, pemantauan dan berkelanjutan perbaikan; pembangunan pedesaan dan sosial; keamanan pangan; konservasi; penggunaan input/teknologi; hak lahan maupun hak tata guna lahan. Proyek ini bertujuan untuk melakukan pemetaan pemangku kepentingan terkait dengan bahan bakar nabati dan sekaligus membangun peta jalan untuk penerapan bahan bakar nabati di Ethiopia. Salah satu yang penting untuk digarisbawahi dari proyek ini adalah, ditemukan bahwa prinsip free and prior inform consent masih perlu untuk dilakukan dalam kaitannya dengan hak atas tanah.[23]

2.5.1 Ruang Lingkup RSB

Dari grafik tersebut, dapat dilihat bahwa RSB memiliki fokus terbanyak pada sisi lingkungan dan sosial. Serupa dengan berbagai standar keberlanjutan untuk industri kelapa sawit, RSB berprinsip pada legalitas, perbaikan berkelanjutan, emisi GRK, HAM, perkembangan sosial, konservasi, tanah, air, udara, limbah, dan hak atas tanah. Salah satu yang membedakan dengan standar keberlanjutan lingkungan lainnya adalah perhitungan lifecycle gas rumah kaca. Hal unik lainnya, RSB secara lebih jelas menggambarkan mana prinsip dan indikator yang berlaku untuk produsen biomassa, pabrik, atau keduanya. Sehingga hampir semua prinsip bahwa RSB masih belum mampu melakukan penetrasi pasar secara optimal, sehingga standar ini lebih tepat dikatakan sebagai formalitas dibandingkan sebagai sebuah drivers dan indikator di RSB didesain untuk dapat dipenuhi seluruh elemen rantai pasok.

Diagram Pie: Perbandingan Indikator RSB
Perbandingan Indikator RSB
2.5.2 Evaluasi Pelaksanaan RSB

Sejauh penelusuran yang dilakukan, belum ditemukan catatan maupun analisis dari standar RSB. Selain itu, dalam konteks Indonesia, tidak terdapat organisasi maupun perusahaan yang menjadi anggota RSB. Namun demikian, RSB memiliki sebuah sistem pengukuran terhadap dampak dari pelaksanaan RSB. Sistem ini pada tahun 2015 menghasilkan laporan evaluasi terhadap pelaksanaan RSB selama ini. Hal yang bisa digarisbawahi pada evaluasi ini adalah of change.[24]

3. Melihat Standar Keberlanjutan dalam Konteks Hulu Hilir Industri Biodiesel

Sebagaimana diuraikan pada bagian-bagian sebelumnya, dinamika industri biodiesel memiliki keterkaitan antara industri hulu dan hilir. Praktik yang dilakukan pada sisi hulu sebagai penyedia bahan baku akan berpengaruh pada isu hilir khususnya terkait dengan penerimaan konsumen terhadap produk biodiesel ramah lingkungan. Pada konteks tersebut, standar keberlanjutan yang diharapkan dapat menjadi salah satu alat untuk mewujudkan biodiesel berkelanjutan diharapkan juga dapat memiliki cakupan hulu hingga hilir. Dari grafik di atas, terlihat cakupan dari masing-masing standar yang dianalisis pada bagian ini. Warna yang lebih tua menunjukan bahwa bobot dari indikator pada sebuah standar dikatakan kuat, sedangkan warna yang lebih muda menunjukan bahwa bobot dari indikator semakin lemah. Bobot yang dimaksud di sini adalah jumlah indikator yang mengatur tiap titik sepanjang rantai pasok biodiesel.

Secara umum, hanya indikator GBeP dan RSB yang memiliki cakupan dari hulu hingga hilir. Namun apabila dilihat bobot dari indikator keduanya juga tidak terlalu memberikan cukup bobot pada sisi hilir. Artinya, titik berat tetap diberikan pada industri hulu biodiesel. Ini yang kemudian menjadi titik kompromi, karena apabila bobotnya menjadi sama rata antara hulu dan hilir, maka pelaksanaan dari standar tersebut akan sangat sulit. Dalam hal tersebut, GBeP terlihat menjadi standar yang cukup rasional dalam memberikan bobot indikator. Hanya saja, kelemahan GBeP adalah karena tidak meletakkan aspek legalitas dalam indikatornya. Sehingga pada sisi hulu sekalipun bobot dari indikatornya tidak terlalu kuat. Selain itu, sifat GBeP yang pada dasarnya bukan merupakan standar juga menjadi kelemahan. Karena perlakuannya akan sangat tergantung pada kemauan baik dari pemerintah.

Untuk standar keberlanjutan lainnya, cakupannya dititik beratkan pada industri hulu biodiesel. Walaupun pada masing-masing standar terdapat perbedaan dalam memberikan bobot pada setiap tahapan di rantai suplai biodiesel. Standar tersebut nampaknya melihat permasalahan utama dari industri kelapa sawit terletak pada sisi hulunya, karena terkait dengan bahan baku. Terdapat beberapa indikator yang sudah mendekati hilir, namun hanya terbatas pada skala pabrik biodiesel.

Walaupun sama-sama terlihat untuk mencapai BU-BBN, namun RSPO dan ISCC memiliki pendekatan yang berbeda dibandingkan ISPO. Hal ini karena pada skema kedua sertifikasi berangkat dari prinsip dasar untuk berkolaborasi dengan pabrik manufaktur untuk menjamin keberlanjutan bagi konsumen akhir. Akan tetapi, skema yang baik tersebut belum tercermin di industri biodiesel Indonesia. Skema yang mencapai konsumen akhir di RSPO dan ISCC masih diterapkan untuk produk pangan dan diarahkan untuk pasar ekspor. Pada akhirnya, sertifikasi RSPO dan ISCC akan terputus di BUBBN.

Pada aspek legalitas, semua standar (kecuali GBeP) mengharuskan untuk sebuah perusahaan memenuhi segala peraturan administrasi yang berlaku di dalam negara. ISPO menjadi peraturan yang paling spesifik dan paling banyak. Tentu saja, hal ini karena ISPO dibuat di Indonesia dan khusus untuk perusahaan perkebunan di Indonesia, sehingga tidak harus memikirkan lagi interpretasi nasional seperti standar keberlanjutan internasional lainnya. Sisi legalitas memang menjadi perhatian khusus bagi standar keberlanjutan di Indonesia dilihat dari banyaknya petani swadaya atau bahkan perusahaan perkebunan tidak jelas jejak administrasinya. Hal ini yang terus menjadikan industri kelapa sawit di Indonesia kerap berada pada area abu-abu dalam konteks keberlanjutan lingkungan. Pada praktiknya, legalitas dan administrasi lahan dapat menjadi penyaring pertama bagi pabrik kelapa sawit untuk memiliki petani pemasoknya.

Catatan penting berada pada kriteria pembukaan lahan, deforestasi, penggunaan lahan gambut, dan pembakaran. ISPO dan RSPO masih membuka peluang untuk pembukaan lahan baru. Dalam hal ini, RSPO memiliki prinsip-prinsip yang lebih spesifik dibandingkan ISPO. Akan tetapi, ISPO tidak memperbolehkan penggunaan api dalam persiapan lahan atau untuk penanaman kembali, dibandingkan dengan RSPO dan ISCC yang masih memperbolehkan dengan berbagai batasan. RSB pun masih dalam batasan saran dan anjuran untuk pembatasan penggunaan api terbuka untuk pembakaran residu, sampah, atau persiapan lahan. Perihal lahan yang bernilai konservasi tinggi dan memiliki stok karbon dibahas di ISCC namun tidak pada ISPO dan RSPO.

3.1 Prinsip Dasar yang Harus ada Dalam Standar Keberlanjutan

Ketika melihat lima contoh dari standar keberlanjutan yang ada, terlihat bahwa setidaknya terdapat lima prinsip yang mendasari standar yang ada tersebut, yaitu 1) legalitas, 2) lingkungan hidup, 3) perlindungan HAM atas pekerja, 4) perlindungan sosial maupun komunitas terdampak, dan 5) ekonomi. Namun penekanannya terhadap kelima prinsip dasar tersebut berbeda antara satu standar dengan yang lainnya. Oleh karenanya, dirasakan perlu untuk memiliki sebuah visi bersama antara pegiat industri kelapa sawit pada umumnya dan industri biodiesel pada khususnya untuk menemukan prinsip dasar apa saja yang perlu ada.

Dalam sebuah diskusi yang diadakan bersama organisasi masyarakat sipil dan membicarakan isu standar keberlanjutan dalam industri biodiesel, disepakati beberapa hal terkait hal ini. Di antaranya adalah:

1. Prioritas utama adalah sektor hulu sebagai penyedia bahan baku

Melihat dinamika industri biodiesel, maka prioritas utama adalah memastikan pasokan dari TBS yang akan dijadikan biodiesel telah memenuhi standar keberlanjutan. Namun ini bukan berarti cakupan pada sisi hilir menjadi tidak penting, hanya saja ini menjadi prioritas kedua.

2. Penguatan kelembagaan dan political will dalam penerapan standar

Belajar dari penerapan berbagai standar yang ada, aspek kelembagaan sangat memegang peranan penting. Karena tanpa adanya aspek kelembagaan yang kuat, maka standar keberlanjutan hanya menjadi perangkat bagi pelaku usaha untuk melakukan pencitraan baik. Kelembagaan yang kuat dan political will untuk menyelesaikan berbagai pengaduan dan permasalahan menjadi kunci dari keberhasilan sebuah standar keberlanjutan.

3. Penguatan indikator dalam setiap titik rantai pasok menjadi penting untuk dilakukan.

Beragamnya standar yang ada saat ini, akan membingungkan untuk diterapkan. Terlebih dalam industri biodiesel yang memiliki cakupan cukup luas. Hal ini pada akhirnya akan membebani pelaku usaha dalam penerapannya. Sehingga penguatan indikator perlu diperhatikan, agar terbuka kemungkinan untuk memperkaya sebuah standar dengan menambahkan indikator yang terdapat pada standar lain.

Bukan perkara mudah untuk melihat realisasi industri biodiesel yang dapat terintegrasi dan terencana dengan baik dari hulu hingga hilir. Namun ini merupakan langkah yang perlu untuk diambil ketika melihat biodiesel sebagai sebuah industri strategis nasional. Semua elemen dan sektor harus turut terlibat dalam proses integrasi ini. Standar keberlanjutan tidak bisa menjadi solusi untuk semua tantangan yang ada pada industri biodiesel. Namun setidaknya, standar keberlanjutan dapat membuka ruang untuk menciptakan akuntabilitas serta mekanisme check and balance terhadap produk biodiesel dari Indonesia.

Catatan kaki:

1. Jorge E. Viñuales, "The Rio Declaration on Environment and Development" [diakses 27 Agustus 2018]. (kembali)
Jorge E. Viñuales, "The Rio Declaration on Environment and Development" [diakses 27 Agustus 2018].
2. Putu Oka Ngakan, Heru Komarudin, Amran Achmad, Wahyudi dan Akhmad Tako, Ketergantungan, Persepsi dan Partisipasi Masyarakat terhadap Sumberdaya Hayati Hutan: Studi Kasus di Dusun Pampli Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Jakarta: Center for International Forestry Research, 2006. (kembali)
Putu Oka Ngakan, Heru Komarudin, Amran Achmad, Wahyudi dan Akhmad Tako, Ketergantungan, Persepsi dan Partisipasi Masyarakat terhadap Sumberdaya Hayati Hutan: Studi Kasus di Dusun Pampli Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Jakarta: Center for International Forestry Research, 2006.
3. Walhi, "Pandangan dan Masukan Koalisi Masyarakat Sipil terhadap Rencana Kebijakan Moratorium Sawit" [diakses 27 Agustus 2018]. (kembali)
4. International Trade Center, "Trade for Sustainable Development" [diakses 27 Agustus 2018]. (kembali)
International Trade Center, "Trade for Sustainable Development" [diakses 27 Agustus 2018].
5. Pada dasarnya, ITC (yang mengembangkan lima klasifikasi tersebut) telah melakukan penafsiran atas klasifikasi yang disusun. Namun untuk kepentingan objektifitas serta praktikalitas, studi ini melakukan interpertasi ulang. Sehingga yang merujuk kepada identifikasi dari ITC hanya klasifikasi dan pembobotan. (kembali)
Pada dasarnya, ITC (yang mengembangkan lima klasifikasi tersebut) telah melakukan penafsiran atas klasifikasi yang disusun. Namun untuk kepentingan objektifitas serta praktikalitas, studi ini melakukan interpertasi ulang. Sehingga yang merujuk kepada identifikasi dari ITC hanya klasifikasi dan pembobotan.
6. Kementrian Pertanian, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11 Tahun 2015 tentang ISPO, pasal 2 ayat (3c). (kembali)
Kementrian Pertanian, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11 Tahun 2015 tentang ISPO, pasal 2 ayat (3c).
7. Soelthon Gussatya Nanggara dkk., Enam Tahun ISPO, Bogor: Forest Watch Indonesia, 2017. (kembali)
Soelthon Gussatya Nanggara dkk., Enam Tahun ISPO, Bogor: Forest Watch Indonesia, 2017.
8. Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), "About" [diakses 26 Juli 2018]. (kembali)
Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), "About" [diakses 26 Juli 2018].
9. Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), "Our Impact" [diakses 26 Juli 2018]. (kembali)
Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), "Our Impact" [diakses 26 Juli 2018].
10. Sangeetha Amarthalingam, "Expect EU single certification to be stricter than RSPO — expert" [diakses 25 Agustus 2018]. (kembali)
Sangeetha Amarthalingam, "Expect EU single certification to be stricter than RSPO — expert" [diakses 25 Agustus 2018].
11. Maryo Saputra, "Bahan Bacaan dan Evaluasi Keterlibatan Sawit Watch Selama 9 Tahun di RSPO" [diakses 10 Agustus 2018]. (kembali)
12. Denis Ruysschaert dan Denis Salles, "Towards global voluntary standards: Questioning the effectiveness in attaining conservation goals - The case on the Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO)", Elsevier, Volume 107, (Science Direct: Ecological Economics), 2014, h. 438-446. (kembali)
Denis Ruysschaert dan Denis Salles, "Towards global voluntary standards: Questioning the effectiveness in attaining conservation goals - The case on the Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO)", Elsevier, Volume 107, (Science Direct: Ecological Economics), 2014, h. 438-446.
13. International Sustainability & Carbon Certification (ISCC), "Objectives" [diakses 31 Juli 2018]. (kembali)
International Sustainability & Carbon Certification (ISCC), "Objectives" [diakses 31 Juli 2018].
14. International Sustainability & Carbon Certification (ISCC), "Transparency & Impact" [diakses 31 Juli 2018]. (kembali)
International Sustainability & Carbon Certification (ISCC), "Transparency & Impact" [diakses 31 Juli 2018].
15. International Sustainability & Carbon Certification (ISCC), "Recognitions" [diakses 31 Juli 2018]. (kembali)
International Sustainability & Carbon Certification (ISCC), "Recognitions" [diakses 31 Juli 2018].
16. Suara Pusaka, "Inilah Kriteria Sertifikasi ISPO Wajib dan Sukarela Bagi Perusahaan Sawit di Indonesia" [diakses 13 April 2018]. (kembali)
17. Clara Brandi dkk., Sustainability Certification in the Indonesian Palm Oil Sector: Benefits and challanges for smallholders, Jerman: Deutsche Institut für Entwicklungspolitik - German Development Institute, 2013. (kembali)
Clara Brandi dkk., Sustainability Certification in the Indonesian Palm Oil Sector: Benefits and challanges for smallholders, Jerman: Deutsche Institut für Entwicklungspolitik - German Development Institute, 2013.
18. Global Bioenergy Partnership (GBEP), The Global Bioenergy Partnership Sustainability Indicators for Bioenergy, Italia: Food and Agriculture of United Nations, 2011. (kembali)
Global Bioenergy Partnership (GBEP), The Global Bioenergy Partnership Sustainability Indicators for Bioenergy, Italia: Food and Agriculture of United Nations, 2011.
19. Y Arkeman, R A Rizkyanti dan E Hambali, "Determination of Indonesian palm-oil-based bioenergy sustainability indicators using fuzzy inference system", IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, Volume 65, Number 1, 2019. (kembali)
Y Arkeman, R A Rizkyanti dan E Hambali, "Determination of Indonesian palm-oil-based bioenergy sustainability indicators using fuzzy inference system", IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, Volume 65, Number 1, 2019.
20. Mamdani dan Sugeno, "4. Fuzzy inference systems" [diakses 13 April 2018]. (kembali)
Mamdani dan Sugeno, "4. Fuzzy inference systems" [diakses 13 April 2018].
21. Roundtable on Sustainable Biomaterials (RSB), RSB Outcome Evaluation Report, Geneva, 2015. (kembali)
Roundtable on Sustainable Biomaterials (RSB), RSB Outcome Evaluation Report, Geneva, 2015.
22. Roundtable on Sustainable Biomaterials (RSB), The Year of Impact: Reviewing 2016, Geneva, 2016. (kembali)
Roundtable on Sustainable Biomaterials (RSB), The Year of Impact: Reviewing 2016, Geneva, 2016.
23. Roundtable on Sustainable Biofuels (RSB), Towards Sustainable Biofuels in Ethiopia, Energy Center EPFL, 2017. (kembali)
Roundtable on Sustainable Biofuels (RSB), Towards Sustainable Biofuels in Ethiopia, Energy Center EPFL, 2017.
24. Roundtable on Sustainable Biomaterials (RSB), loc. cit. (kembali)
Roundtable on Sustainable Biomaterials (RSB), loc. cit.